oleh Agus Sunyoto
Rencana pemerintah melakukan redenominasi mata uang disambut gembira oleh warga kampung Longor yang terletak di sebelah barat Pesantren sufi. Alasan warga sederhana, bahwa dengan menyesuaikan nilai mata uang rupiah setara dengan dolar akan maka harga-harga akan menjadi murah. Barang yang seharga Rp 10.000 menjadi Rp 1. Barang harga Rp 1000 menjadi 10 sen. Barang harga Rp 100 menjadi 1 sen. Barang harga 1 US dolar sama dengan Rp 1.
Dul Bento, pemuda kampung Longor, satu-satunya warga yang sering datang ke pesantren dengan meluapkan kegembiraan bercerita tentang bagaimana warganya sangat mendukung rencana pemerintah meluncurkan kebijakan redenominasi mata uang. Dullah yang mendengar ungkapan Dul Bento hanya ketawa. Setelah diam sejenak, Dullah berkata,”Berapa nanti harga beras sekilo?”
“Hanya 80 sen, kang,” kata Dul Bento membusungkan dada.
“Harga motor yang sekarang Rp 13 juta, jadi berapa Dul?” tanya Dullah.
Dul Bento merenung lama. Setelah itu menjawab,“Cuma Rp 1300, kang.”
“Benar itu,” sahut Dullah.
“Semua jadi murah kan?” kata Dul Bento gembira.
Sufi tua yang duduk di samping Dullah tiba-tiba menggumam,”Kamu itu tidak tahu apa-apa soal kebijakan politik, Dul.”
“Maksudnya apa pakde?” tanya Dul Bento tidak faham.
Sufi tua tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke wajah Dul Bento, menutupi bagian matanya. Beberapa jenak, Dul Bento menyaksikan semacam kilasan-kilasan peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan redenominasi mata uang. Dalam remang-remang cakrawala, Dul Bento melihat beratus-ratus polisi berdiri di pinggir jalan. Lalu ditangkapilah pengendara motor dan mobil yang kedapatan mengirim SMS atau menerima telepon. Mereka ditilang dengan ancaman denda Rp 750.000 atau hukuman kurungan dua tahun. Polisi juga menangkapi orang-orang yang membuang sampah sembarangan, termasuk puntung rokok dengan ancaman denda sebesar Rp 50.000 atau hukuman kurungan enam bulan.
Saat Sufi tua mengangkat tangannya, Dul Bento gelagapan dan tersadar. Lalu dengan wajah pucat pasi ia menggumam,”Warga kampung saya suka membuang sampah di sungai, pakde. Apa mereka akan didenda Rp 50.000?”
“Ya pasti,” sahut Sufi tua.
“Tapi kan bayarnya jadi Rp 5?” sahut Dul Bento.
“He Dul, ingat ya undang-undang lalu lintas belum diubah. Undang-undang dan peraturan daerah pun belum diubah. Jadi nilai nominal denda ya tetap seperti yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada,” kata Sufi tua.
“Wah bisa melarat mendadak warga kampung saya,” kata Dul Bento garuk-garuk kepala.
“Jadi kebijakan moneter itu tidak gampang, karena sangat potensial digunakan penguasa untuk menutupi kebijakan menyembunyikan kemerosotan nilai mata uang yang disebut saneering. Jadi jangan keburu gembira dulu. Sebab sangat mungkin yang terjadi adalah sanering,” kata Sufi tua.
Rencana pemerintah melakukan redenominasi mata uang disambut gembira oleh warga kampung Longor yang terletak di sebelah barat Pesantren sufi. Alasan warga sederhana, bahwa dengan menyesuaikan nilai mata uang rupiah setara dengan dolar akan maka harga-harga akan menjadi murah. Barang yang seharga Rp 10.000 menjadi Rp 1. Barang harga Rp 1000 menjadi 10 sen. Barang harga Rp 100 menjadi 1 sen. Barang harga 1 US dolar sama dengan Rp 1.
Dul Bento, pemuda kampung Longor, satu-satunya warga yang sering datang ke pesantren dengan meluapkan kegembiraan bercerita tentang bagaimana warganya sangat mendukung rencana pemerintah meluncurkan kebijakan redenominasi mata uang. Dullah yang mendengar ungkapan Dul Bento hanya ketawa. Setelah diam sejenak, Dullah berkata,”Berapa nanti harga beras sekilo?”
“Hanya 80 sen, kang,” kata Dul Bento membusungkan dada.
“Harga motor yang sekarang Rp 13 juta, jadi berapa Dul?” tanya Dullah.
Dul Bento merenung lama. Setelah itu menjawab,“Cuma Rp 1300, kang.”
“Benar itu,” sahut Dullah.
“Semua jadi murah kan?” kata Dul Bento gembira.
Sufi tua yang duduk di samping Dullah tiba-tiba menggumam,”Kamu itu tidak tahu apa-apa soal kebijakan politik, Dul.”
“Maksudnya apa pakde?” tanya Dul Bento tidak faham.
Sufi tua tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke wajah Dul Bento, menutupi bagian matanya. Beberapa jenak, Dul Bento menyaksikan semacam kilasan-kilasan peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan redenominasi mata uang. Dalam remang-remang cakrawala, Dul Bento melihat beratus-ratus polisi berdiri di pinggir jalan. Lalu ditangkapilah pengendara motor dan mobil yang kedapatan mengirim SMS atau menerima telepon. Mereka ditilang dengan ancaman denda Rp 750.000 atau hukuman kurungan dua tahun. Polisi juga menangkapi orang-orang yang membuang sampah sembarangan, termasuk puntung rokok dengan ancaman denda sebesar Rp 50.000 atau hukuman kurungan enam bulan.
Saat Sufi tua mengangkat tangannya, Dul Bento gelagapan dan tersadar. Lalu dengan wajah pucat pasi ia menggumam,”Warga kampung saya suka membuang sampah di sungai, pakde. Apa mereka akan didenda Rp 50.000?”
“Ya pasti,” sahut Sufi tua.
“Tapi kan bayarnya jadi Rp 5?” sahut Dul Bento.
“He Dul, ingat ya undang-undang lalu lintas belum diubah. Undang-undang dan peraturan daerah pun belum diubah. Jadi nilai nominal denda ya tetap seperti yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada,” kata Sufi tua.
“Wah bisa melarat mendadak warga kampung saya,” kata Dul Bento garuk-garuk kepala.
“Jadi kebijakan moneter itu tidak gampang, karena sangat potensial digunakan penguasa untuk menutupi kebijakan menyembunyikan kemerosotan nilai mata uang yang disebut saneering. Jadi jangan keburu gembira dulu. Sebab sangat mungkin yang terjadi adalah sanering,” kata Sufi tua.
You have read this article with the title Redenominasi atau Sanering?. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/12/redenominasi-atau-sanering.html. Thanks!
No comment for "Redenominasi atau Sanering?"
Post a Comment