Satu sore di Padhepokan Grind Punk yang diasuh Kyai Semar Puzz, terjadi peristiwa aneh tetapi lucu yang membuat para cantrik tertawa terpingkal-pingkal. Awalnya, Tualen Puss membeli Kalender Jawa yang aneh di sebuah Kongres Bahasa Jawa. Dikatakan aneh, karena kalender itu menetapkan usia kalender tahun Jawa 2923. Tanpa pikir panjang Tualen Puss, sarjana sejarah yang asal Bali tapi sangat ingin tahu sejarah kebudayaan Jawa itu membeli kalender aneh tersebut seharga Rp 25.000. Tualen Puss berharap, ia menemukan rumusan baru kalender Jawa yang benar-benar akurat dan sesuai dengan fakta historis dalam kaitan dengan penyusunan sistem penanggalan Jawa kuno.
Betapa terkejut Tualen Puss sewaktu membuka dan membaca kalender Jawa yang aneh itu. Sebab disebutkan di situ bahwa kalender Jawa didasarkan pada gagasan “Sangkan Dumadining Bawana” yang berkaitan dengan Huruf Jawa yang didasarkan pada gagasan “Sangkan Paraning Dumadi”. Entah darimana sumber historisnya, penyusun kalender itu menetapkan bahwa kalender Jawa pertama kali diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun 911 SM (Sebelum Masehi) sehingga pada tahun 2011 ini sudah berusia 2923 tahun. Tualen Puss yang terbiasa berpikir ilmiah dengan epistemologi kesejarahan mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang, berusaha memahami penjelasan yang sangat tidak masuk akal sehat (common sense) apalagi nalar akademik. Tualen Puss, pertama-tama tidak menemukan hubungan korelasional antara kalender Jawa yang disusun sejak tahun 911 SM itu dengan huruf Jawa yang baru digunakan pada abad ke-12 Masehi (sebelum itu prasasti-prasasti menggunakan huruf asal India: Pallawa, Dewanagari). Pada tahun 50 SM Prabu Sri Maha Punggung atau Ki Ajar Padang mengadakan perubahan pada huruf dan sastra Jawa.
Lebih terkejut lagi Tualen Puss mendapati klaim pada kalender itu bahwa Aji Saka adalah orang Jawa asli dan kalender yang diperkenalkan Aji Saka yang dimulai tanggal 21 Juni 77 M dimulai dari angka nol (das), dimulai pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1tepat hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) sebagai permulaan tahun Jawa, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Kalender Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar). Klaim ini mengejutkan, karena semua sejarawan sedunia sudah mengetahui dan faham jika kalender yang digunakan orang Jawa sejak tahun 78 M itu adalah kelender Saka, yaitu kalender yang dicanangkan oleh Raja Kaniska, raja di kerajaan Sakya di India, yang menetapkan kalender berdasar solar system (sistem matahari) pada tanggal 1 bulan Aniani atau Badrapada tahun 1 Saka, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Nah bagaimana nalar historisnya, kalender Saka bikinan Raja Kaniska yang sudah diketahui para sejarawan sedunia itu bisa disulap oleh pembuat kalender aneh itu sebagai kalender asli Jawa kelanjutan dari kalender bikinan Mpu Hubayun? Bagaimana tokoh simbolik Aji Saka yang dijadikan simbol pengaruh budaya Syaka di India yang menandai digunakannya kalender Saka oleh orang Jawa pada tahun 78 M itu diklaim sebagai orang Jawa asli? Tidakkah penyusun kalender itu mengetahui jika dongeng Aji Saka dengan dua orang abdinya bernama Dora dan Sembada itu baru muncul pada masa akhir era Mentaram abad ke-17 M? Bagaimana pula muncul dongeng baru yang lebih gres bahwa abdi Aji Saka itu empat orang, selain Dora dan Sembada masih ada Duga dan Prayoga?
Ketika sampai di padhepokan, Tualen Puss mengumpulkan teman-temannya untuk membincang kalender Jawa yang menurutnya aneh itu. Dalam sekejap sudah berkumpul Bagong Purr, Sangut Pull, Gareng Punk, Petruk Puff, Delem Putt, Merdah Pupp, Bancak Punn, Doyok Pudd, Besut Muff, Udel Lull, Cepot Mudd, dan Dawala Mugg mengitari Tualen Puss. Secara bergiliran para cantrik itu membaca lembar demi lembar kalender aneh itu dengan ujung mereka tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Bagong Purr saking gelinya sampai ketawa terkentut-kentut.
“Hihihi,” kata Sangut Pull ketawa sambil menepuk-tepuk perutnya,”Kalau kalender Jawa berdasar sistem matahari (solar system), bagaimana dengan sistem hitungan kalender Jawa kuno berdasar rembulan yang disebut Candrasengkala? Apa dia tidak tahu bagaimana prasasti-prasasti sejak zaman Tarumanagara sampai Majapahit ditulis dengan menggunakan kelender sistem rembulan Candrasengkala?”
“Halaah Ngut Sangut,” sahut Petruk Puff mencibir,”Kamu lihat lembar terakhir kelender itu. Dari situ saja orang sudah tahu bahwa penyusun kalender itu wong sing ora pinter tapi keminter.”
Sangut Pull membuka lembar akhir kalender dan membaca isinya. Dengan mata mendelik dan kepala geleng-geleng ia menggumam,”Lhadalah, ini ada nama hari dalam kalender Jawa yang terdiri dari tujuh satuan hari (Radite/Rawiwara/Minggu; Soma/Sumawara/Senin; Anggara/Manggala/Selasa; Buda/Pertala/Rabu; Respati/Wrehaspati/Kamis; Sukra/Wiku/Jum’at; Tumpak/Saniscara/Sabtu) yang disebut macrocosmos dan lima satuan hari (Manis/Legi/Pethakan; Jenar/Pahing/Abritan; Palguna/Pon/Jenean; Langking/Wage/Cemengan/ Kasih/Kliwon/Gesang) yang disebut microcosmos. Walah-walah, memang ini bukti kang, kalau orang yang menyusun kalender ini tidak faham benar dengan wewaran. Jelas dia tidak tahu bahwa dalam kalender Jawa yang disebut Wewaran itu ada sepuluh, yaitu Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Astawara, Sangawara, dan Dasawara. Bahkan kentara sekali dia tidak tahu jika Sultan Agung menambahkan sistem satuan tahun dalam penanggalan Jawa yang dirangkai dalam satuan siklus Windu, yaitu tahun-tahun yang diberi nama-nama baru yang berasal dari bahasa Arab: Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir yang jumlahnya delapan dan kemudian dirangkum dalam lambang Kelawu (8) dan Langkir (8) yang dirangkai sebagai satu satuan Windu yang berjumlah empat, yaitu Windu Adi, Kuntara, Sancaya, Sangara dalam siklus 32 tahunan.”
“Ya begitu itulah Ngut,” sahut Petruk Puff sinis,”Dengan menetapkan bahwa kalender Jawa berdasar sistem matahari (solar system), adalah bukti penyusun kalender itu tidak akan mengetahui sedikit pun rumus hitungan Tanggal dan Palong dalam kalender Jawa Candrasengkala. Dia juga tidak akan tahu apa itu yang disebut Purnama dalam Tanggal atau Suklapaksa maupun apa yang disebut Tilem dalam Panglong yang disebut Krsnapaksa.”
“Kayaknya orang ini pakai rujukan tulisan Ir H Wibatsu Harianto S,” kata Sangut Pull,”Soalnya kalendernya mirip dengan uraian dalam Qomarul Syamsi Adamakna halaman 21 yang cetakan wukunya terbalik akibat salah cetak. Wah, wah, wah…”
“Tapi lihat kang Petruk,” sahut Delem Putt menyela sambil menunjuk cover kalender,”Dia menyatakan kalau kalender yang disusun Sultan Agung Hanyakra Kusuma sudah waktunya disesuaikan atau diadakan perubahan karena selain memunculkan istilah tahun ABOGE (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan istilah tahun ASAPON (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari Seloso Pon) akibat disatukannya kalender Jawa yang berdasar sistem matahari (solar system) dengan kalender Islam yang berdasar sistem rembulan (lunar system), orang-orang Jawa harus kembali kepada kalender Jawa yang asli bikinan Mpu Hubayun tahun 911 SM.”
“Itulah masalahnya,” sahut Petruk Puff sinis,”Penyusun kalender itu tidak cukup kompeten menguasai sistem kalender Jawa Candrasengakala, sistem kalender Saka Suryasengkala, sistem kalender Kala Sanjaya yang disebut Pawukon, sistem kalender pranatamangsa, dan sistem kalender Hijriyyah yang sangat dikuasai Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Bagaimana kita mempercayakan sebuah perubahan kalender Jawa yang rumit yang merupakan gabungan mathematical calendar dengan astronomical calendar kepada orang tidak lebih cerdas dari Sultan Agung Hanyakra Kusuma?”
“Justru karena kekagumanku pada rumus-rumus mathematis yang ditetapkan Sultan Agung Hanyakra Kusuma dalam memadukan secara selaras Kalender Jawa Candrasengkala (lunar system), kalender Saka Suryasengakala (solar system), kalender Hijriyyah Qomariyyah (lunar system), dan pranatamangsa yang membuatku belajar khusus masalah itu di padhepokan ini. Jika bukan manusia jenius, mana mungkin Sultan Agung Hanyakra Kusuma bisa memadukan mathematical calendar dengan astronomical calendar yang begitu rumit. Jadi menurutku, masih sangat rasional aku meyakini kalender Sultan Agung Hanyakra Kusuma daripada mempercayai kalender aneh yang tidak jelas rumusan sistematiknya itu,” kata Tualen Puss menimpali.
“Asal kamu tahu saja Len,” sahut Sangut Puff mengomentari kata-kata Tualen Puss,”Penyusun kalender ini menetapkan 1 Suro sebagai awal tahun baru Jawa yang asli Jawa. Itu menunjukkan penyusun kalender ini buta sejarah, karena dia tidak tahu kosa kata SURO itu darimana. Dia tidak tahu bahwa sepanjang sejarah kalender Jawa sejak tahun 1 Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi hingga masa Majapahit tidak dikenal kosa kata SURO sebagai nama bulan. Ini sungguh tragis.”
“O iya ya,” sahut Tualen Puss manggut-manggut,”Penyusun kalender itu rupanya tidak tahu bahwa kosa kata SURO itu berasal dari bahasa Arab logat Persia Asy-Syuro yang digunakan oleh orang-orang Persia untuk menyebut bulan Muharram karena di dalam bulan Muharram terdapat tanggal kesepuluh (Asy-Syara) yang keramat, yaitu tanggal terbunuhnya Sayyidina Husein putera Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad Saw di Karbala. Atas latar historis itulah orang-orang Persia sedunia pada tiap-tiap bulan Asy-Suro memperingati peristiwa itu dengan membuat bubur Asy-Suro. Orang-orang Persia juga melarang bulan Asy-Syuro itu untuk perhelatan nikah, khitan, pindah rumah, dan lain-lain. Nah kata Asy-Syuro itulah dalam lidah Jawa dilafalkan SURO.”
“Ya, ya, rupanya dia mengira SURO itu kosa kata asli Jawa.”
“Itu namanya otak-atik mathuk.”
“He he he….”
Betapa terkejut Tualen Puss sewaktu membuka dan membaca kalender Jawa yang aneh itu. Sebab disebutkan di situ bahwa kalender Jawa didasarkan pada gagasan “Sangkan Dumadining Bawana” yang berkaitan dengan Huruf Jawa yang didasarkan pada gagasan “Sangkan Paraning Dumadi”. Entah darimana sumber historisnya, penyusun kalender itu menetapkan bahwa kalender Jawa pertama kali diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun 911 SM (Sebelum Masehi) sehingga pada tahun 2011 ini sudah berusia 2923 tahun. Tualen Puss yang terbiasa berpikir ilmiah dengan epistemologi kesejarahan mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang, berusaha memahami penjelasan yang sangat tidak masuk akal sehat (common sense) apalagi nalar akademik. Tualen Puss, pertama-tama tidak menemukan hubungan korelasional antara kalender Jawa yang disusun sejak tahun 911 SM itu dengan huruf Jawa yang baru digunakan pada abad ke-12 Masehi (sebelum itu prasasti-prasasti menggunakan huruf asal India: Pallawa, Dewanagari). Pada tahun 50 SM Prabu Sri Maha Punggung atau Ki Ajar Padang mengadakan perubahan pada huruf dan sastra Jawa.
Lebih terkejut lagi Tualen Puss mendapati klaim pada kalender itu bahwa Aji Saka adalah orang Jawa asli dan kalender yang diperkenalkan Aji Saka yang dimulai tanggal 21 Juni 77 M dimulai dari angka nol (das), dimulai pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1tepat hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) sebagai permulaan tahun Jawa, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Kalender Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar). Klaim ini mengejutkan, karena semua sejarawan sedunia sudah mengetahui dan faham jika kalender yang digunakan orang Jawa sejak tahun 78 M itu adalah kelender Saka, yaitu kalender yang dicanangkan oleh Raja Kaniska, raja di kerajaan Sakya di India, yang menetapkan kalender berdasar solar system (sistem matahari) pada tanggal 1 bulan Aniani atau Badrapada tahun 1 Saka, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Nah bagaimana nalar historisnya, kalender Saka bikinan Raja Kaniska yang sudah diketahui para sejarawan sedunia itu bisa disulap oleh pembuat kalender aneh itu sebagai kalender asli Jawa kelanjutan dari kalender bikinan Mpu Hubayun? Bagaimana tokoh simbolik Aji Saka yang dijadikan simbol pengaruh budaya Syaka di India yang menandai digunakannya kalender Saka oleh orang Jawa pada tahun 78 M itu diklaim sebagai orang Jawa asli? Tidakkah penyusun kalender itu mengetahui jika dongeng Aji Saka dengan dua orang abdinya bernama Dora dan Sembada itu baru muncul pada masa akhir era Mentaram abad ke-17 M? Bagaimana pula muncul dongeng baru yang lebih gres bahwa abdi Aji Saka itu empat orang, selain Dora dan Sembada masih ada Duga dan Prayoga?
Ketika sampai di padhepokan, Tualen Puss mengumpulkan teman-temannya untuk membincang kalender Jawa yang menurutnya aneh itu. Dalam sekejap sudah berkumpul Bagong Purr, Sangut Pull, Gareng Punk, Petruk Puff, Delem Putt, Merdah Pupp, Bancak Punn, Doyok Pudd, Besut Muff, Udel Lull, Cepot Mudd, dan Dawala Mugg mengitari Tualen Puss. Secara bergiliran para cantrik itu membaca lembar demi lembar kalender aneh itu dengan ujung mereka tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Bagong Purr saking gelinya sampai ketawa terkentut-kentut.
“Hihihi,” kata Sangut Pull ketawa sambil menepuk-tepuk perutnya,”Kalau kalender Jawa berdasar sistem matahari (solar system), bagaimana dengan sistem hitungan kalender Jawa kuno berdasar rembulan yang disebut Candrasengkala? Apa dia tidak tahu bagaimana prasasti-prasasti sejak zaman Tarumanagara sampai Majapahit ditulis dengan menggunakan kelender sistem rembulan Candrasengkala?”
“Halaah Ngut Sangut,” sahut Petruk Puff mencibir,”Kamu lihat lembar terakhir kelender itu. Dari situ saja orang sudah tahu bahwa penyusun kalender itu wong sing ora pinter tapi keminter.”
Sangut Pull membuka lembar akhir kalender dan membaca isinya. Dengan mata mendelik dan kepala geleng-geleng ia menggumam,”Lhadalah, ini ada nama hari dalam kalender Jawa yang terdiri dari tujuh satuan hari (Radite/Rawiwara/Minggu; Soma/Sumawara/Senin; Anggara/Manggala/Selasa; Buda/Pertala/Rabu; Respati/Wrehaspati/Kamis; Sukra/Wiku/Jum’at; Tumpak/Saniscara/Sabtu) yang disebut macrocosmos dan lima satuan hari (Manis/Legi/Pethakan; Jenar/Pahing/Abritan; Palguna/Pon/Jenean; Langking/Wage/Cemengan/ Kasih/Kliwon/Gesang) yang disebut microcosmos. Walah-walah, memang ini bukti kang, kalau orang yang menyusun kalender ini tidak faham benar dengan wewaran. Jelas dia tidak tahu bahwa dalam kalender Jawa yang disebut Wewaran itu ada sepuluh, yaitu Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Astawara, Sangawara, dan Dasawara. Bahkan kentara sekali dia tidak tahu jika Sultan Agung menambahkan sistem satuan tahun dalam penanggalan Jawa yang dirangkai dalam satuan siklus Windu, yaitu tahun-tahun yang diberi nama-nama baru yang berasal dari bahasa Arab: Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir yang jumlahnya delapan dan kemudian dirangkum dalam lambang Kelawu (8) dan Langkir (8) yang dirangkai sebagai satu satuan Windu yang berjumlah empat, yaitu Windu Adi, Kuntara, Sancaya, Sangara dalam siklus 32 tahunan.”
“Ya begitu itulah Ngut,” sahut Petruk Puff sinis,”Dengan menetapkan bahwa kalender Jawa berdasar sistem matahari (solar system), adalah bukti penyusun kalender itu tidak akan mengetahui sedikit pun rumus hitungan Tanggal dan Palong dalam kalender Jawa Candrasengkala. Dia juga tidak akan tahu apa itu yang disebut Purnama dalam Tanggal atau Suklapaksa maupun apa yang disebut Tilem dalam Panglong yang disebut Krsnapaksa.”
“Kayaknya orang ini pakai rujukan tulisan Ir H Wibatsu Harianto S,” kata Sangut Pull,”Soalnya kalendernya mirip dengan uraian dalam Qomarul Syamsi Adamakna halaman 21 yang cetakan wukunya terbalik akibat salah cetak. Wah, wah, wah…”
“Tapi lihat kang Petruk,” sahut Delem Putt menyela sambil menunjuk cover kalender,”Dia menyatakan kalau kalender yang disusun Sultan Agung Hanyakra Kusuma sudah waktunya disesuaikan atau diadakan perubahan karena selain memunculkan istilah tahun ABOGE (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan istilah tahun ASAPON (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari Seloso Pon) akibat disatukannya kalender Jawa yang berdasar sistem matahari (solar system) dengan kalender Islam yang berdasar sistem rembulan (lunar system), orang-orang Jawa harus kembali kepada kalender Jawa yang asli bikinan Mpu Hubayun tahun 911 SM.”
“Itulah masalahnya,” sahut Petruk Puff sinis,”Penyusun kalender itu tidak cukup kompeten menguasai sistem kalender Jawa Candrasengakala, sistem kalender Saka Suryasengkala, sistem kalender Kala Sanjaya yang disebut Pawukon, sistem kalender pranatamangsa, dan sistem kalender Hijriyyah yang sangat dikuasai Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Bagaimana kita mempercayakan sebuah perubahan kalender Jawa yang rumit yang merupakan gabungan mathematical calendar dengan astronomical calendar kepada orang tidak lebih cerdas dari Sultan Agung Hanyakra Kusuma?”
“Justru karena kekagumanku pada rumus-rumus mathematis yang ditetapkan Sultan Agung Hanyakra Kusuma dalam memadukan secara selaras Kalender Jawa Candrasengkala (lunar system), kalender Saka Suryasengakala (solar system), kalender Hijriyyah Qomariyyah (lunar system), dan pranatamangsa yang membuatku belajar khusus masalah itu di padhepokan ini. Jika bukan manusia jenius, mana mungkin Sultan Agung Hanyakra Kusuma bisa memadukan mathematical calendar dengan astronomical calendar yang begitu rumit. Jadi menurutku, masih sangat rasional aku meyakini kalender Sultan Agung Hanyakra Kusuma daripada mempercayai kalender aneh yang tidak jelas rumusan sistematiknya itu,” kata Tualen Puss menimpali.
“Asal kamu tahu saja Len,” sahut Sangut Puff mengomentari kata-kata Tualen Puss,”Penyusun kalender ini menetapkan 1 Suro sebagai awal tahun baru Jawa yang asli Jawa. Itu menunjukkan penyusun kalender ini buta sejarah, karena dia tidak tahu kosa kata SURO itu darimana. Dia tidak tahu bahwa sepanjang sejarah kalender Jawa sejak tahun 1 Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi hingga masa Majapahit tidak dikenal kosa kata SURO sebagai nama bulan. Ini sungguh tragis.”
“O iya ya,” sahut Tualen Puss manggut-manggut,”Penyusun kalender itu rupanya tidak tahu bahwa kosa kata SURO itu berasal dari bahasa Arab logat Persia Asy-Syuro yang digunakan oleh orang-orang Persia untuk menyebut bulan Muharram karena di dalam bulan Muharram terdapat tanggal kesepuluh (Asy-Syara) yang keramat, yaitu tanggal terbunuhnya Sayyidina Husein putera Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad Saw di Karbala. Atas latar historis itulah orang-orang Persia sedunia pada tiap-tiap bulan Asy-Suro memperingati peristiwa itu dengan membuat bubur Asy-Suro. Orang-orang Persia juga melarang bulan Asy-Syuro itu untuk perhelatan nikah, khitan, pindah rumah, dan lain-lain. Nah kata Asy-Syuro itulah dalam lidah Jawa dilafalkan SURO.”
“Ya, ya, rupanya dia mengira SURO itu kosa kata asli Jawa.”
“Itu namanya otak-atik mathuk.”
“He he he….”
You have read this article with the title Mau Mengubah Kalender Jawa-Islam Sultan Agung, Mampukah?. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/mau-mengubah-kalender-jawa-islam-sultan.html. Thanks!
Artikel yang menarik dan inspiratif...
ReplyDeleteSpeechless... Bagus banget,. Maturnuwun Ki Sunyoto, njenengan kalo ngajari uwenak,. Yang baca ini pasti gak bakal ngerasa digurui walaupun menerima banyak ilmu,.
ReplyDeleteJazakumullaah, Ki...
ah can kaharti mas prabu tualen puss...tolong diberi pencerahan deui atuh kula ieu...heheh...
ReplyDeletePersoalannya, hakekat fungsi kalender itu untuk apa, dalam budaya masyarakat agraris (walaupun tidak sepenuhnya) yang hidup di garis katulistiwa, apakah tepat menggunakan kalender Candrasengkala untuk pegangan dalam bercocok tanam, coba kita lihat realitasnnya, ada kalanya bulan BESAR, yang dipercaya baik untuk melakukan hajatan, jatuh pada bulan Desember masehi, dimana hujan sedang deras derasnya. Apakah tidak menjadi pertanyyaan dalam diri kita, apakah nenek moyang kita demikian ngawur dalam menentukan hari baik untuk sebuah hajatan....???? nuwun
ReplyDeleteJustru ketidak cerdasan Sultan Agung nampak sekalai dengan membuat perubahan (yang dilakaukan dengan cepat tanpa memperhitungkan banyak aspek), rupanya ambisi politik lebih menguasai daripada nalarnya dan gagal memahami hakekat manfaat dari sebuah kalender.
ReplyDeleteLuar biasa pendapat denmas #Cahyo Widodo ARTis. Saya sependapat dengan apa yg panjenengan sampaikan....gara-gara kanjeng prabu-lah...toto adat jawa jadi morat-marit....(Jempol dua)
DeleteYg bikin blog ini cenderung ke agama import tertentu ya...
ReplyDeleteSependapat
Delete