Akibat menonton TV yang menayangkan kebrutalan polisi di pelabuhan Sape, Bima secara berulang-ulang dengan komentar-komentar keras dari kalangan pengamat, aktivis, mahasiswa, Indonesia Police Watch, Komnas HAM, penduduk kampung sekitar pesantren sufi merasakan tekanan darah mereka naik, suhu badan mereka tinggi, dada mereka seperti terbakar, dan rasa muak mereka terhadap polisi naik dari telapak kaki hinggi ke ubun-ubun. Setiap kali mereka melihat pejabat polisi memberikan penjelasan apologis yang membenarkan tindakan polisi menembak mati penduduk, mereka langsung mengumpat dan mencaci-makinya sebagai dajjal pendusta. “Benar sekali pernyataan para tokoh agama yang memberikan cap pemerintah sebagai pembohong! Benar! Benar! Mana mungkin tokoh agama bicara tanpa fakta,” sahut Bambang dengan gigi gemeletuk menahan kegeraman.
Ternyata, perasaan sama dialami oleh penduduk kampung-kampung yang jauh dari pesantren sufi. Bahkan lewat SMS, Dullah mengetahui jika kebencian penduduk kepada polisi telah mewabah ke berbagai tempat yang jauh hingga ke pelosok negeri. Hampir semua orang punya simpulan sama, yaitu menganggap polisi telah menjadi centeng bayaran para pemilik modal, karena dalam kasus-kasus yang merenggut nyawa penduduk selalu berkaitan dengan perusahaan dagang (corporate). Dan semua orang sepakat dengan pernyataan Johnson Panjaitan dari Indonesia Police Watch yang menyatakan bahwa polisi memang sudah menjadi centeng pemilik kapital sehingga rakyat harus bersatu-padu untuk saling membela dan saling melindungi diri sendiri.
Kuatir terjadi hal-hal tidak diinginkan, Guru Sufi memanggil para pemuka kampung untuk diajak berdialog mengenai mengenai kasus yang meresahkan itu. Demikianlah, usai shalat Isya para pemuka kampung yang dikordinasi Bambang sudah berkumpul di teras mushola. Bahkan sejumlah tokoh dari kampung yang jauh ikut hadir untuk mengikuti perbincangan dengan para sufi. Guru Sufi sendiri didampingi Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi Jadzab, dan Dullah.
Seperti biasa, setelah Sufi Sudrun membuka acara dengan pepujian memuliakan Allah dan menghaturkan shalawat serta salam kepada Rasulullah Saw, disampaikan pengantar menyangkut pentingnya membicarakan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat dengan kepala dingin dan hati lapang. Namun baru saja Sufi Sudrun mengakhiri acara pembukaan, tiba-tiba Sufi Jadzab berteriak,”Sekarang ini zaman VOC terulang. Iya, para syuhada yang gugur melawan VOC telah mengatakan kepadaku bahwa zaman VOC sekarang ini terulang lagi. Perhatian saudara-saudara, sekarang ini zaman VOC telah terulang kembali.”
“Maksudnya zaman VOC kembali bagaimana, mbah?” tanya Bambang ingin tahu.
“Ya pokoknya zaman VOC balik,” sahut Sufi Jadzab menggaruk-garuk kepala,”Itu yang dikatakan para syuhada’ kepadaku. Tapi apa benar VOC balik lagi?”
“Ya benar mbah, zaman VOC memang terulang lagi,” sahut Sufi Sudrun menimpali.
“Maksudnya bagaimana kang?” tanya Bambang penasaran.
“Ya VOC itu kan perusahaan dagang alias corporate?” sahut Sufi Sudrun,”Tapi dia punya tentara sendiri untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Bukankah perusahaan-perusahaan dagang itu juga punya ‘tentara’ sendiri yang disebut Pam Swakarsa?”
“Tapi kang, selain VOC kan ada kerajaan-kerajaan lokal yang punya polisi dan tentara sendiri?”
“Ya benar itu,” sahut Sufi Sudrun singkat.
“Apakah VOC pernah meminta bantuan polisi dan tentara kerajaan untuk mengamankan kepentingannya ketika menghadapi masalah?” sahut Bambang.
“O itu tidak pernah terjadi,” kata Sufi Sudrun,”Yang sering terjadi, raja-raja lokal justru sering meminta bantuan VOC untuk menumpas musuh-musuhnya. Atas jasanya itu, VOC mendapat bayaran berupa tanah. Begitulah VOC dengan sengaja melakukan siasat devide et impera agar raja-raja saling berperang, kemudian VOC membela salah satunya dengan akhir VOC mendapat bayaran tanah. Begitulah sejak VOC didirikan tahun 1602 sampai bangkrut dan dibubarkan tahun 1779, sudah hampir seluruh negeri dikuasai VOC.”
“Waduh kang,” tukas Sukiran tiba-tiba menyela,”Kalau corporate-corporate itu sampai bersatu mendirikan persekutuan dagang seperti VOC, bakal babak belur bangsa kita. Karena mereka akan memiliki angkatan bersenjata sendiri yang disebut mercenaries alias tentara bayaran.”
“Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Maksudnya, jangan ada gagasan membentuk Indonesia Incorporated yang berstatus seperti VOC. Runyam itu nanti jadinya. Soalnya, corporate-corporate kecil ini saja sudah menewaskan dan melukai banyak orang apalagi kalau disatukan seperti VOC, bisa ribuan orang mati ditembak,,” kata Sufi Sudrun.
“Apa mungkin kang polisi membunuhi rakyat sampai ribuan orang?”
“Mungkin saja kalau corporate-corporate itu bersatu dan memiliki pasukan pengamanan sendiri seperti VOC atau mereka meniru penguasa Yaman dan Suriah yang dengan bersukacita menembaki penduduk yang berdemonstrasi,” kata Sufi Sudrun.
“Maaf, jangan terlalu berandai-andai,” Sufi tua tiba-tiba menyela,”Maksudnya, jangan berandai-andai bahwa polisi negeri ini akan meniru aparat Yaman dan Suriah meski kemungkinan itu ada. Yang pasti, aku yakin polisi tidak akan meniru tindakan aparat Yaman dan Suriah.”
“Kenapa sampeyan begitu yakin, pakde,” kata Sukiran ikut bicara.
“Karena aku yakin, aparat kita tidak akan melakukan tindakan bodoh dengan meniru Yaman dan Suriah,” kata Sufi tua.
“Kenapa pakde?”
“Karena masyarakat Nusantara jauh beda watak dan jiwanya dengan masyarakat Suriah dan Yaman,” kata Sufi tua.
“Jauh beda bagaimana maksudnya, pakde?” Sukiran heran.
“Masyarakat Nusantara memiliki kecenderungan AMOK ketika berada pada situasi tertekan dan menghadapi jalan buntu. Itu khas Nusantara yang tidak dimiliki bangsa lain,” Sufi tua menjelaskan.
“Maksudnya?”
“Ya kalau rakyat sudah panik dan gelap mata, akan terjadi AMOK MASSAL. Itu sangat bahaya karena akan terjadi anarkisme yang mengerikan seperti yang sudah sering terjadi dalam sejarah kita.”
“Tapi rakyat tidak punya bedil pakde,” sahut Dullah menyela,”Dengan AMOK MASSAL, aparat malah punya alasan untuk memberondong mereka dengan peluru tajam karena anarkis.”
“Itu AMOK MASSAL menurut asumsi pikiranmu,” kata Sufi tua menarik nafas panjang,”Fakta sejarah menunjukkan betapa rakyat Nusantara ini punya prinsip TIJI TIBEH – MATI SIJI MATI KABEH. Ingat tidak dengan peristiwa Puputan Badung? Amok dilakukan dengan membunuh anak-anak dan isteri sendiri lalu menyerang musuh sampai mati. Ingat juga, bagaimana waktu Jepang masuk ke Jakarta, terjadi “peristiwa penggedoran” dari Tangerang, Jakarta sampai Bogor dan Bekasi dengan korban sekitar 6000 orang tewas. Bukan tentara Belanda dan pedagang-pedagang yang dianggap musuh oleh rakyat yang dibunuh, melainkan keluarga mereka diserang dan dihabisi ramai-ramai. Itu Amok. Lalu diikuti penjarahan. Itu khas.”
“Jadi pakde, kalau rakyat melakukan amok, bisa saja yang mereka serang itu rumah polisi di kampung-kampung dan keluarga polisi dijadikan sasaran amok?” tanya Sukiran miris.
“Namanya amok, apa saja bisa terjadi,” kata Sufi tua dingin,“Apalagi kalau mahasiswa melakukan AMOK, pasti lebih seru dan lebih berbahaya.”
“Bahayanya di mana pakde? Bukankah mahasiswa tidak punya bedil?”
“Lha kalau mahasiswa fakultas kedokteran amok,” kata Sufi tua dengan nada sangat dingin,”Bisa saja mereka masuk lab patologi. Mengambil sampel virus-virus yang disimpan di dalam tabung-tabung kaca kecil, lalu tabung-tabung itu dilempar ke kantor polisi apa tidak kiamat?”
“Tapi kalau virus yang dilepas, kan penduduk yang lain ikut jadi korban?”
“Namanya juga AMOK. Namanya juga prinsip TIJI TIBEH. Biar kiamat tidak apa-apa, karena kita punya prinsip daripada dijajah kembali oleh VOC kulit coklat lebih baik negeri ini tenggelam ke dasar lautan,” sahut Sufi tua berdiri dan meninggalkan tempat masuk ke mushola.
Guru Sufi geleng-geleng kepala mendengar uraian Sufi tua yang bisa mengacaukan acara dialog itu.
Ternyata, perasaan sama dialami oleh penduduk kampung-kampung yang jauh dari pesantren sufi. Bahkan lewat SMS, Dullah mengetahui jika kebencian penduduk kepada polisi telah mewabah ke berbagai tempat yang jauh hingga ke pelosok negeri. Hampir semua orang punya simpulan sama, yaitu menganggap polisi telah menjadi centeng bayaran para pemilik modal, karena dalam kasus-kasus yang merenggut nyawa penduduk selalu berkaitan dengan perusahaan dagang (corporate). Dan semua orang sepakat dengan pernyataan Johnson Panjaitan dari Indonesia Police Watch yang menyatakan bahwa polisi memang sudah menjadi centeng pemilik kapital sehingga rakyat harus bersatu-padu untuk saling membela dan saling melindungi diri sendiri.
Kuatir terjadi hal-hal tidak diinginkan, Guru Sufi memanggil para pemuka kampung untuk diajak berdialog mengenai mengenai kasus yang meresahkan itu. Demikianlah, usai shalat Isya para pemuka kampung yang dikordinasi Bambang sudah berkumpul di teras mushola. Bahkan sejumlah tokoh dari kampung yang jauh ikut hadir untuk mengikuti perbincangan dengan para sufi. Guru Sufi sendiri didampingi Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi Jadzab, dan Dullah.
Seperti biasa, setelah Sufi Sudrun membuka acara dengan pepujian memuliakan Allah dan menghaturkan shalawat serta salam kepada Rasulullah Saw, disampaikan pengantar menyangkut pentingnya membicarakan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat dengan kepala dingin dan hati lapang. Namun baru saja Sufi Sudrun mengakhiri acara pembukaan, tiba-tiba Sufi Jadzab berteriak,”Sekarang ini zaman VOC terulang. Iya, para syuhada yang gugur melawan VOC telah mengatakan kepadaku bahwa zaman VOC sekarang ini terulang lagi. Perhatian saudara-saudara, sekarang ini zaman VOC telah terulang kembali.”
“Maksudnya zaman VOC kembali bagaimana, mbah?” tanya Bambang ingin tahu.
“Ya pokoknya zaman VOC balik,” sahut Sufi Jadzab menggaruk-garuk kepala,”Itu yang dikatakan para syuhada’ kepadaku. Tapi apa benar VOC balik lagi?”
“Ya benar mbah, zaman VOC memang terulang lagi,” sahut Sufi Sudrun menimpali.
“Maksudnya bagaimana kang?” tanya Bambang penasaran.
“Ya VOC itu kan perusahaan dagang alias corporate?” sahut Sufi Sudrun,”Tapi dia punya tentara sendiri untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Bukankah perusahaan-perusahaan dagang itu juga punya ‘tentara’ sendiri yang disebut Pam Swakarsa?”
“Tapi kang, selain VOC kan ada kerajaan-kerajaan lokal yang punya polisi dan tentara sendiri?”
“Ya benar itu,” sahut Sufi Sudrun singkat.
“Apakah VOC pernah meminta bantuan polisi dan tentara kerajaan untuk mengamankan kepentingannya ketika menghadapi masalah?” sahut Bambang.
“O itu tidak pernah terjadi,” kata Sufi Sudrun,”Yang sering terjadi, raja-raja lokal justru sering meminta bantuan VOC untuk menumpas musuh-musuhnya. Atas jasanya itu, VOC mendapat bayaran berupa tanah. Begitulah VOC dengan sengaja melakukan siasat devide et impera agar raja-raja saling berperang, kemudian VOC membela salah satunya dengan akhir VOC mendapat bayaran tanah. Begitulah sejak VOC didirikan tahun 1602 sampai bangkrut dan dibubarkan tahun 1779, sudah hampir seluruh negeri dikuasai VOC.”
“Waduh kang,” tukas Sukiran tiba-tiba menyela,”Kalau corporate-corporate itu sampai bersatu mendirikan persekutuan dagang seperti VOC, bakal babak belur bangsa kita. Karena mereka akan memiliki angkatan bersenjata sendiri yang disebut mercenaries alias tentara bayaran.”
“Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Maksudnya, jangan ada gagasan membentuk Indonesia Incorporated yang berstatus seperti VOC. Runyam itu nanti jadinya. Soalnya, corporate-corporate kecil ini saja sudah menewaskan dan melukai banyak orang apalagi kalau disatukan seperti VOC, bisa ribuan orang mati ditembak,,” kata Sufi Sudrun.
“Apa mungkin kang polisi membunuhi rakyat sampai ribuan orang?”
“Mungkin saja kalau corporate-corporate itu bersatu dan memiliki pasukan pengamanan sendiri seperti VOC atau mereka meniru penguasa Yaman dan Suriah yang dengan bersukacita menembaki penduduk yang berdemonstrasi,” kata Sufi Sudrun.
“Maaf, jangan terlalu berandai-andai,” Sufi tua tiba-tiba menyela,”Maksudnya, jangan berandai-andai bahwa polisi negeri ini akan meniru aparat Yaman dan Suriah meski kemungkinan itu ada. Yang pasti, aku yakin polisi tidak akan meniru tindakan aparat Yaman dan Suriah.”
“Kenapa sampeyan begitu yakin, pakde,” kata Sukiran ikut bicara.
“Karena aku yakin, aparat kita tidak akan melakukan tindakan bodoh dengan meniru Yaman dan Suriah,” kata Sufi tua.
“Kenapa pakde?”
“Karena masyarakat Nusantara jauh beda watak dan jiwanya dengan masyarakat Suriah dan Yaman,” kata Sufi tua.
“Jauh beda bagaimana maksudnya, pakde?” Sukiran heran.
“Masyarakat Nusantara memiliki kecenderungan AMOK ketika berada pada situasi tertekan dan menghadapi jalan buntu. Itu khas Nusantara yang tidak dimiliki bangsa lain,” Sufi tua menjelaskan.
“Maksudnya?”
“Ya kalau rakyat sudah panik dan gelap mata, akan terjadi AMOK MASSAL. Itu sangat bahaya karena akan terjadi anarkisme yang mengerikan seperti yang sudah sering terjadi dalam sejarah kita.”
“Tapi rakyat tidak punya bedil pakde,” sahut Dullah menyela,”Dengan AMOK MASSAL, aparat malah punya alasan untuk memberondong mereka dengan peluru tajam karena anarkis.”
“Itu AMOK MASSAL menurut asumsi pikiranmu,” kata Sufi tua menarik nafas panjang,”Fakta sejarah menunjukkan betapa rakyat Nusantara ini punya prinsip TIJI TIBEH – MATI SIJI MATI KABEH. Ingat tidak dengan peristiwa Puputan Badung? Amok dilakukan dengan membunuh anak-anak dan isteri sendiri lalu menyerang musuh sampai mati. Ingat juga, bagaimana waktu Jepang masuk ke Jakarta, terjadi “peristiwa penggedoran” dari Tangerang, Jakarta sampai Bogor dan Bekasi dengan korban sekitar 6000 orang tewas. Bukan tentara Belanda dan pedagang-pedagang yang dianggap musuh oleh rakyat yang dibunuh, melainkan keluarga mereka diserang dan dihabisi ramai-ramai. Itu Amok. Lalu diikuti penjarahan. Itu khas.”
“Jadi pakde, kalau rakyat melakukan amok, bisa saja yang mereka serang itu rumah polisi di kampung-kampung dan keluarga polisi dijadikan sasaran amok?” tanya Sukiran miris.
“Namanya amok, apa saja bisa terjadi,” kata Sufi tua dingin,“Apalagi kalau mahasiswa melakukan AMOK, pasti lebih seru dan lebih berbahaya.”
“Bahayanya di mana pakde? Bukankah mahasiswa tidak punya bedil?”
“Lha kalau mahasiswa fakultas kedokteran amok,” kata Sufi tua dengan nada sangat dingin,”Bisa saja mereka masuk lab patologi. Mengambil sampel virus-virus yang disimpan di dalam tabung-tabung kaca kecil, lalu tabung-tabung itu dilempar ke kantor polisi apa tidak kiamat?”
“Tapi kalau virus yang dilepas, kan penduduk yang lain ikut jadi korban?”
“Namanya juga AMOK. Namanya juga prinsip TIJI TIBEH. Biar kiamat tidak apa-apa, karena kita punya prinsip daripada dijajah kembali oleh VOC kulit coklat lebih baik negeri ini tenggelam ke dasar lautan,” sahut Sufi tua berdiri dan meninggalkan tempat masuk ke mushola.
Guru Sufi geleng-geleng kepala mendengar uraian Sufi tua yang bisa mengacaukan acara dialog itu.
You have read this article with the title Waspadai AMOK MASSAL Rakyat Nusantara Yang Dizhalimi. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/waspadai-amok-massal-rakyat-nusantara.html. Thanks!
No comment for "Waspadai AMOK MASSAL Rakyat Nusantara Yang Dizhalimi"
Post a Comment