Gara-gara ikut tradisi malam tahun baru di Pesantren Sufi, Sukino keponakan Sukirin terheran-heran dengan keanehan para sufi yang melewati detik-detik pergantian tahun itu dengan aneka bentuk tangisan: sebagian shalat sambil menangis, sebagian berdzikir sambil meratap, yang lain tafakkur dengan airmata berlinang-linang, dan yang lain lagi menangis tersedu-sedu sambil membaca syair-syair sufistik. Tak kuat menahan penasaran, sehari setelah tahun baru lewat, Sukino menanyakan tradisi tidak lazim itu kepada Sufi tua, "Maaf, kemarin malam itu tradisi bid'ah apalagi yang dilakukan para sufi, pakdhe?"
"Bid'ah apa?" sahut Sufi tua acuh tak acuh.
"Menangis dengan macam-macam gaya dalam memperingati Tahun Baru Masehi, bukankah itu bid'ah?" sergah Sukino.
"Orang menangis berjama'ah kok dianggap bid'ah," gumam Sufi tua datar.
"Lha menangis untuk menyambut Tahun baru Masehi, apa itu bukan bid'ah?"
"Apa kamu sudah menemukan dalil kalau orang menangis pada malam Tahun Baru Masehi itu bid'ah?"
"Ya belum. Tapi kalau hal itu dilakukan setiap tahun, kan bid'ah?" tukas Sukino.
"Apa kamu sudah tahu bahwa niat orang-orang menangis pada malam Tahun baru Masehi itu memperingati malam pergantian tahun? Apa kamu itu dukun, peramal, tukang sihir, wali yang bisa menerka niat orang?" kata Sufi tua dingin.
"Ya tidak," kilah Sukino mengelak,"Tapi kalau tiap tahun diadakan, kan sudah jelas itu tradisi dengan niat yang jelas yaitu memperingati malam Tahun Baru Masehi dengan menangis."
"Itu simpulanmu sepihak seolah-olah kamu itu tuhan yang mahatahu hati dan pikiran orang."
Sukino diam. Sebentar kemudian ia bertanya,"Ee kalau boleh tahu, apakah latar alasan para sufi menangis setiap malam Tahun baru Masehi?"
"Macam-macam alasannya," sahut Sufi tua dingin.
"Lho alasan kok macam-macam," sergah Sukino,"Mosok ada niat macam-macam."
"Kalau manusia itu bikinan pabrik, asumsimu yang membatasi manusia itu akal dan pikirannya sempit dan picik sepertimu, maka niat orang ya hanya satu dan seragam. Tapi fakta kan menunjuk, manusia itu bukan produk pabrik. Jadi tiap individu berbeda-beda. Meski mereka berada di tempat sama pada waktu sama dan melakukan kegiatan yang hampir sama, tidak berarti niat mereka itu sama," kata Sufi tua.
Sukino diam. Ia berpikir keras untuk memahami ucapan Sufi tua. Setelah beberapa bentar, ia bertanya,"Ee kalau boleh tahu, apa saja kira-kira niat para sufi melewati malam Tahun baru Masehi dengan menangis?"
"Sufi Jadzab, menangis karena menyaksikan dengan bashirah bahwa malam itu bayangan Izrail berkelebatan di mana-mana untuk mencabut nyawa manusia. Guru Sufi, menangis karena mengingat dan rindu akan mati. Sufi Sudrun menangis, berniat memberi keseimbangan dalam kehidupan di mana pada saat banyak orang ketawa-ketiwi dalam sukacita di malam itu harus ada orang-orang yang menangis dalam dukacita sebagaimana watak sunnatullah. Sufi Kenthir, menangis karena solidaritas ikut bela sungkawa terhadap keluarga orang-orang yang malam itu kehilangan anggota keluarganya karena dibunuh Izrail dengan macam-macam cara. Sufi Gelandangan, menangis karena bermunajat agar dia dan keluarganya dijauhkan dari kekuasaan nafsu rendah untuk bersukacita merayakan malam Tahun Baru Masehi dengan penghamburan yang mubadzir dan sia-sia, dan banyak lagi alasan yang lain," kata Sufi tua menjelaskan.
"Lho apa para sufi bisa melihat kalau malam itu malaikat Izrail bergentayangan mencari orang yang akan dicabut nyawanya?" tanya Sukino ingin tahu,"Bagaimana mereka bisa memastikan kalau setiap malam Tahun Baru Masehi akan banyak orang mati?"
"Kalau kita anggap saja mereka itu tidak bisa melihat Izrail secara bashirah," kata Sufi tua menjelaskan,"Akal mereka setidaknya sudah tahu bahwa setiap tahun, di antara sukacita berjuta-juta manusia yang berduyun-duyun keluar rumah untuk merayakan malam Tahun Baru Masehi dengan menaiki macam-macam kendaraan, pasti akan terjadi kecelakaan yang membawa korban jiwa. Bukankah setiap tahun, lewat radio, televisi, koran selalu diberitakan tentang kasus-kasus orang tewas karena kecelakaan, perkelahian, minum miras oplosan, dan lain-lain. Jadi gak butuh kecerdasan tinggi untuk bisa mengetahui kalau di tengah semarak kegembiraan malam Tahun Baru Masehi itu selalu jatuh korban tewas."
"Tapi pakde," sahut Sukino tak mau kalah,"Apa niat para sufi itu dibolehkan agama?"
"Aaa..Sukino," bentak Sufi tua dengan suara ditekan,"Memangnya kamu anggap semua orang itu robot dan kamu operatornya, sehingga untuk berniat melakukan sesuatu pun harus menunggu pembenaran darimu. Memang siapa kamu berani merampas hak Tuhan untuk Berkehendak menganugerahkan ilham kepada hamba-Nya? Apa kamu tidak tahu bahwa sejatinya tidak ada yang Berkehendak kecuali kehendak-Nya? Memangnya kamu itu mengaku tuhan ya?"
"Wah bukan begitu pakde..," sahut Sukino menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Bid'ah apa?" sahut Sufi tua acuh tak acuh.
"Menangis dengan macam-macam gaya dalam memperingati Tahun Baru Masehi, bukankah itu bid'ah?" sergah Sukino.
"Orang menangis berjama'ah kok dianggap bid'ah," gumam Sufi tua datar.
"Lha menangis untuk menyambut Tahun baru Masehi, apa itu bukan bid'ah?"
"Apa kamu sudah menemukan dalil kalau orang menangis pada malam Tahun Baru Masehi itu bid'ah?"
"Ya belum. Tapi kalau hal itu dilakukan setiap tahun, kan bid'ah?" tukas Sukino.
"Apa kamu sudah tahu bahwa niat orang-orang menangis pada malam Tahun baru Masehi itu memperingati malam pergantian tahun? Apa kamu itu dukun, peramal, tukang sihir, wali yang bisa menerka niat orang?" kata Sufi tua dingin.
"Ya tidak," kilah Sukino mengelak,"Tapi kalau tiap tahun diadakan, kan sudah jelas itu tradisi dengan niat yang jelas yaitu memperingati malam Tahun Baru Masehi dengan menangis."
"Itu simpulanmu sepihak seolah-olah kamu itu tuhan yang mahatahu hati dan pikiran orang."
Sukino diam. Sebentar kemudian ia bertanya,"Ee kalau boleh tahu, apakah latar alasan para sufi menangis setiap malam Tahun baru Masehi?"
"Macam-macam alasannya," sahut Sufi tua dingin.
"Lho alasan kok macam-macam," sergah Sukino,"Mosok ada niat macam-macam."
"Kalau manusia itu bikinan pabrik, asumsimu yang membatasi manusia itu akal dan pikirannya sempit dan picik sepertimu, maka niat orang ya hanya satu dan seragam. Tapi fakta kan menunjuk, manusia itu bukan produk pabrik. Jadi tiap individu berbeda-beda. Meski mereka berada di tempat sama pada waktu sama dan melakukan kegiatan yang hampir sama, tidak berarti niat mereka itu sama," kata Sufi tua.
Sukino diam. Ia berpikir keras untuk memahami ucapan Sufi tua. Setelah beberapa bentar, ia bertanya,"Ee kalau boleh tahu, apa saja kira-kira niat para sufi melewati malam Tahun baru Masehi dengan menangis?"
"Sufi Jadzab, menangis karena menyaksikan dengan bashirah bahwa malam itu bayangan Izrail berkelebatan di mana-mana untuk mencabut nyawa manusia. Guru Sufi, menangis karena mengingat dan rindu akan mati. Sufi Sudrun menangis, berniat memberi keseimbangan dalam kehidupan di mana pada saat banyak orang ketawa-ketiwi dalam sukacita di malam itu harus ada orang-orang yang menangis dalam dukacita sebagaimana watak sunnatullah. Sufi Kenthir, menangis karena solidaritas ikut bela sungkawa terhadap keluarga orang-orang yang malam itu kehilangan anggota keluarganya karena dibunuh Izrail dengan macam-macam cara. Sufi Gelandangan, menangis karena bermunajat agar dia dan keluarganya dijauhkan dari kekuasaan nafsu rendah untuk bersukacita merayakan malam Tahun Baru Masehi dengan penghamburan yang mubadzir dan sia-sia, dan banyak lagi alasan yang lain," kata Sufi tua menjelaskan.
"Lho apa para sufi bisa melihat kalau malam itu malaikat Izrail bergentayangan mencari orang yang akan dicabut nyawanya?" tanya Sukino ingin tahu,"Bagaimana mereka bisa memastikan kalau setiap malam Tahun Baru Masehi akan banyak orang mati?"
"Kalau kita anggap saja mereka itu tidak bisa melihat Izrail secara bashirah," kata Sufi tua menjelaskan,"Akal mereka setidaknya sudah tahu bahwa setiap tahun, di antara sukacita berjuta-juta manusia yang berduyun-duyun keluar rumah untuk merayakan malam Tahun Baru Masehi dengan menaiki macam-macam kendaraan, pasti akan terjadi kecelakaan yang membawa korban jiwa. Bukankah setiap tahun, lewat radio, televisi, koran selalu diberitakan tentang kasus-kasus orang tewas karena kecelakaan, perkelahian, minum miras oplosan, dan lain-lain. Jadi gak butuh kecerdasan tinggi untuk bisa mengetahui kalau di tengah semarak kegembiraan malam Tahun Baru Masehi itu selalu jatuh korban tewas."
"Tapi pakde," sahut Sukino tak mau kalah,"Apa niat para sufi itu dibolehkan agama?"
"Aaa..Sukino," bentak Sufi tua dengan suara ditekan,"Memangnya kamu anggap semua orang itu robot dan kamu operatornya, sehingga untuk berniat melakukan sesuatu pun harus menunggu pembenaran darimu. Memang siapa kamu berani merampas hak Tuhan untuk Berkehendak menganugerahkan ilham kepada hamba-Nya? Apa kamu tidak tahu bahwa sejatinya tidak ada yang Berkehendak kecuali kehendak-Nya? Memangnya kamu itu mengaku tuhan ya?"
"Wah bukan begitu pakde..," sahut Sukino menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
You have read this article with the title Menyoal Tradisi Menangis Pada Malam Tahun baru. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/menyoal-tradisi-menangis-pada-malam.html. Thanks!
No comment for "Menyoal Tradisi Menangis Pada Malam Tahun baru"
Post a Comment