Setelah melihat tayangan berbagai stasiun TV tentang rencana kenaikan BBM bersubsidi Sufi tua berteriak marah, memaki orang-2 pemerintah yg dianggap bermain sandiwara di balik kasus pengurangan subsidi BBM itu. Dengan suara lantang, mantan perwira itu menuding para pejabat pemerintah sebagai dagelan-2 yg sedang membangun politik pencitraan berulang-ulang sehingga membuat muak orang-2 yang faham.
Dullah yg tidak faham arah kemarahan Sufi tua bertanya,"Sampean kok marah-2 sama pejabat itu kenapa pakde?"
Sukiran yang heran juga menyela,"Iya pakde, kok mereka disebut dagelan?"
"Mereka memang dagelan," sahut Sufi tua menahan nafas,"Skenario tidak lucu diulang-ulang terus, Muak jadinya."
"Skenario tidak lucu bagaimana pakde?" tanya Dullah heran.
"Soal subsidi dan bantuan BLT terus diulang-ulang. Itu dagelan. Itu menunjuk mereka bukan negarawan dan tidak faham apa itu yang disebut negara," gerutu Sufi tua.
"Maksudnya apa pakde?" tukas Sukiran ingin tahu,"Kenapa pakde menilai mereka tidak faham kenegaraan."
"Asal kalian tahu, bahwa yang disebut subsidi itu adalah kewajiban utama negara dalam memenuhi public service. Itu prinsip negara paling dasar. Sejarah negara kita menunjuk: sejak republik ini didirikan, semua pemerintah memberikan subsidi kepada public service yg terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti BBM, listrik, air minum, telepon, pendidikan,dll. Subsidi, sudah dilakukan sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, B.J.Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati. Lha ini baru sekarang selalu ribut menyoal subsidi, seolah-olah pemerintah yg berkuasa adalah rezim baik hati yg dermawan dan mensubsidi rakyat miskin masih ditambah bantuan BLT. Ini dagelan," sahut Sufi tua jengkel.
"Lho apa memang subsidi itu kewajiban negara dalam kaitan dengan public service tah?" sahut Dullah.
"Ya negara di seluruh dunia mensuibsidi public service karena rakyatnya bayar pajak."
"Oo begitu ya..tak pikir rezimnya yg baik hati dan dermawan serta concern terhadap nasib wong cilik."
"Itu gombal. Itu politik pencitraan saja. Faktanya, mereka yg teriak-teriak anti korupsi paling keras justru melakukan korupsi. Itu dagelan..bro."
Dullah yg tidak faham arah kemarahan Sufi tua bertanya,"Sampean kok marah-2 sama pejabat itu kenapa pakde?"
Sukiran yang heran juga menyela,"Iya pakde, kok mereka disebut dagelan?"
"Mereka memang dagelan," sahut Sufi tua menahan nafas,"Skenario tidak lucu diulang-ulang terus, Muak jadinya."
"Skenario tidak lucu bagaimana pakde?" tanya Dullah heran.
"Soal subsidi dan bantuan BLT terus diulang-ulang. Itu dagelan. Itu menunjuk mereka bukan negarawan dan tidak faham apa itu yang disebut negara," gerutu Sufi tua.
"Maksudnya apa pakde?" tukas Sukiran ingin tahu,"Kenapa pakde menilai mereka tidak faham kenegaraan."
"Asal kalian tahu, bahwa yang disebut subsidi itu adalah kewajiban utama negara dalam memenuhi public service. Itu prinsip negara paling dasar. Sejarah negara kita menunjuk: sejak republik ini didirikan, semua pemerintah memberikan subsidi kepada public service yg terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti BBM, listrik, air minum, telepon, pendidikan,dll. Subsidi, sudah dilakukan sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, B.J.Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati. Lha ini baru sekarang selalu ribut menyoal subsidi, seolah-olah pemerintah yg berkuasa adalah rezim baik hati yg dermawan dan mensubsidi rakyat miskin masih ditambah bantuan BLT. Ini dagelan," sahut Sufi tua jengkel.
"Lho apa memang subsidi itu kewajiban negara dalam kaitan dengan public service tah?" sahut Dullah.
"Ya negara di seluruh dunia mensuibsidi public service karena rakyatnya bayar pajak."
"Oo begitu ya..tak pikir rezimnya yg baik hati dan dermawan serta concern terhadap nasib wong cilik."
"Itu gombal. Itu politik pencitraan saja. Faktanya, mereka yg teriak-teriak anti korupsi paling keras justru melakukan korupsi. Itu dagelan..bro."
You have read this article with the title Subsidi di balik Politik Pencitraan. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/subsidi-di-balik-politik-pencitraan.html. Thanks!
No comment for "Subsidi di balik Politik Pencitraan"
Post a Comment