Religionomic di Era Global

    Dalam sebuah diskusi bertema ‘Sufisme di tengah Globalisasi’ dengan narasumber Guru Sufi, seorang dosen PTN bernama Suhardi memunculkan pertanyaan yang selama ini dinilai telah  membingungkan sekaligus mencemaskannya, yaitu seputar  kebijakan aneh Yang Mahakuasa terhadap Bangsa Indonesia.  Entah atas pertimbangan apa, fakta  menunjuk adanya  amarah berkobar-kobar Yang Mahakuasa yang menimpakan berbagai adzab bencana yang sambung-menyambung seperti  Gempa Bumi, Badai Tsunami, Tanah Longsor, Hujan dan Angin Puyuh, Angin Puting Beliung, Banjir Bandang, Gunung Sampah Ambruk, Pohon-pohon Tumbang, Banjir Rob, Kebakaran Kampung, Kebakaran Hutan, Kebakaran Pasar, Kecelakaan Massal di laut dan di darat, Wabah penyakit seperti Flu Burung, Diare, Malaria, tawuran warga antar kampung, tawuran tentara lawan polisi, tawuran warga lawan polisi, dst, dst, dengan korban beratus-ratus ribu orang.

    “Semua petaka  itu mengherankan saya, Mbah Kyai,” kata Suhardi ingin penjelasan, ”Sebab di tengah arus globalisasi ini, saya mendapati kegiatan keagamaan berlangsung sangat menggembirakan di negeri ini. Fakta  menunjuk bagaimana  masjid-masjid mewah berkubah emas dibangun masyarakat, pengajian-pengajian dilakukan umat  di  kantor-kantor, hotel-hotel, sekolah-sekolah, radio dan televisi, artis-artis dan pelawak-pelawak pun pintar berceramah agama, partai-partai politik diagamakan, ibadah umroh dan haji dimudahkan dengan KBIH-KBIH dan biro-biro perjalanan, amar makruf  nahi munkar dilakukan oleh kelompok-kelompok umat yang militan, makanan dan minuman sudah  diberi label halal sehingga tidak membuat orang ragu-ragu, pendek kata semua  kegiatan keagamaan dilakukan oleh bagian terbesar bangsa ini dalam berbagai kesempatan. Tapi kenapa hasilnya justru bencana yang menimpa bangsa ini? Kenapa ini bisa terjadi, Mbah Kyai? Bukankah yang pantas ditimpa bencana itu adalah umat-umat terkutuk seperti masyarakat di jaman Nabi Nuh, Luth, Shaleh, Syu’aib, Musa, Daniel yang ingkar?”

    Guru Sufi diam. Semua peserta diskusi juga diam. Semu  peserta seperti membenarkan keheranan Suhardi  yang  menggugat ‘ketidak-adilan’ Yang Mahakuasa. Semua memandang Guru Sufi seperti ingin segera mendapat jawaban.

             Setelah diam beberapa jenak, tiba-tiba Guru Sufi  balik bertanya kepada Suhardi,”Apa sampeyan pernah makan bakso?”

    “Tentu saja pernah, Mbah Kyai,” jawab Suhardi  heran dengan pertanyaan Guru Sufi  yang dianggapnya  tidak relevan,”Memangnya ada kaitan apa pertanyaan saya dengan bakso, Mbah Kyai?”

    “Apakah sampeyan  yakin bahwa pentol bakso  yang sampeyan makan itu terbuat dari daging ducampur tepung yang murni bahan-bahannya? Apakah sampeyan yakin di dalam pentol bakso itu tidak ada campuran  bahan  borak, formalin, daging tikus, daging babi, daging anjing? Apakah sampeyan juga yakin kalau  saus bakso juga dibuat dari tomat asli dan sekali-kali tidak berasal dari bahan pepaya dan ubi yang dicampur cat pewarna dan formalin dan essense rasa tomat?” tanya Guru Sufi bertubi-tubi.

    Suhardi  diam. Semua peserta diskusi saling pandang satu sama lain. Lalu diam.

    “Di jaman global ini,” gumam Guru Sufi seperti menjawab pertanyaannya sendiri,”Kalau kita melihat sesuatu hanya dari tampilan yang tampak, maka kita akan tertipu oleh panca-indera kita yang terbatas. Sebab masyarakat di jaman global ini adalah masyarakat konsumer yang hidup dikelilingi rimba raya komoditi, iklan, tontonan, kuis, produk-produk, status, simbol, prestasi, dan  prestise yang hamper semuanya palsu. Dikatakan palsu, karena jika kita mencermati dengan nurani yang bersih tentang apa yang sejatinya ada dan terproses di balik tampilan-tampilan sesuatu, maka kita akan menemukan betapa di hampir  seluruh sisi kehidupan kita telah diliputi oleh kepalsuan-kepalsuan yang menyesatkan. Kita mau mengkonsumsi bakso, roti, susu, telur, krupuk, ikan asin, terasi, petis,  daging ayam, daging sapi, buah-buahan, sayur-sayuran, bumbu, minyak goreng, atau sekedar  permen saja sudah sulit menemukan yang benar-benar terbuat dari bahan alami, murni dan sehat. Kita semua menemukan segala sesuatu yang kita konsumsi dibuat dari bahan tiruan dan palsu. Kita   seolah-olah hidup di tengah belantara kepalsuan. Manipulasi. Tiruan. Virtual.”

    “Apakah memakan bahan makanan yang palsu bisa membuat kehidupan orang menjadi penuh kepalsuan, Mbah Kyai?” tanya Dalgejo yang duduk di samping Suhardi.

    Seperti tak perduli dengan pertanyaan Dalgejo, Guru Sufi  berkata keras,”Umat sekarang ini sedang mengembangkan disiplin pengetahuan  baru yang disebut Religionomic. Seperti pelacur, mereka menggunakan segala rayuan  dan trik-trik manipulatif untuk mengkomersilkan term-term keagamaan demi memperoleh nilai tambah ekonomis. Mereka menjadikan Agama sebagai komoditi menguntungkan.”

    “Religionomic? Agama dijadikan komoditi? Mohon penjelasan, Mbah Kyai, apa makna semua istilah baru itu?” tanya Suhardi  penasaran, ingin mengetahui istilah baru yang dilontarkan Guru Sufi itu.

    “Sampeyan tahu sekarang bulan Ramadhan waktunya orang berpuasa dan menyiapkan makanan berbuka serta persiapan Idul Fitri?” tanya  Guru Sufi  tiba-tiba menyoal Ramadhan dan Idul Fitri.

    “Ya benar, Mbah Kyai,” jawab saya.

    “Bagaimana harga kebutuhan pokok?”

    “Semua melonjak naik, Mbah Kyai.”

     “Berapa ongkos umroh di bulan Ramadhan?” tanya Guru Sufi  mengerutkan kening,”Berapa pula umroh di bulan lain?”

      “Umroh Ramadhan yang plus kira-kira 2800-3000 US dollar, Mbah Kyai,” sahut Suhardi,”Sedang umroh di bulan lain paling mahal 2100 US dollar.”

      “Kenapa waktu orang melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan lebih mahal?”

      “Karena orang butuh ibadah di bulan yang penuh barokah, Mbah Kyai.”

       “Pemikiran itulah yang disebut Religionomic, di mana agama dijadikan komoditi untuk mendapat nilai tambah ekonomi,” ujar Guru Sufi. Suhardi termangu-mangu.

          Setelah diam sejenak, Guru Sufi memaparkan bagaimana biaya umroh plus yang hanya sekitar 19  juta rupiah itu ketika masuk bulan Ramadhan  biayanya bisa  dua kali lipat lebih dari ongkos umroh di bulan lain. Guru Sufi  juga memaparkan melambungnya harga beras, minyak goreng, gula, kopi, tepung, lauk-pauk, sayur-mayur, dan berbagai kebutuhan sehari-hari saat masuk bulan Ramadhan dan terutama saat dekat Idul Fitri. Ongkos transportasi dan pakaian pun melonjak tinggi saat memasuki Hari Raya Idul Fitri. Tidak sekedar fenomena Ramadhan,  untuk bisa shalat khusyuk pun, orang sudah membuka kursus-kursus dan pelatihan shalat  dengan biaya jutaan rupiah. Untuk tahu isi al-Qur’an, hadits-hadits shahih, doa-doa mustajab dari Rasulullah Saw, dan pengetahuan tentang Islam, ungkap Guru Sufi, orang sudah menyediakan nomor-nomor empat digit yang sekali akses dikenai biaya duaribu rupiah. Sepintas memang murah, tetapi omset dagang agama itu miliaran rupiah. “Bahkan tanpa malu sedikit pun, ada orang-orang membuka outlet bernama Jama’ah al-Haqq yang menjual surga dengan harga enamratus limapuluh ribu rupiah,” kata Guru Sufi.

         Semua  tercekat kaget dengan paparan Guru Sufi  tentang Religionomic yang berkembang pesat di tengah masyarakat. Suhardi tiba-tiba ingat Mat Lewor, tetangganya  yang bekerja memungut infak, shodaqoh, jariyah, dan sumbangan untuk Masjid al-Khalid yang sengaja dijadikan abadi untuk masukan pribadi pengurus  selama bertahun-tahun. Suhardi  juga tiba-tiba ingat Jembudin al-Sangari, tetangganya yang pekerjaan utamanya  mengibarkan panji-panji Agama untuk mengobrak-abrik cafe, bar, night club, lapau tuak,  rumah bordil, tempat perjudian yang tidak menyetor uang keamanan  kepada kelompoknya. Suhardi  juga tiba-tiba ingat  Kabib Labib, temannya sekolah yang selalu berbicara tentang bank, asuransi, pegadaian, dengan konsep syariat yang pada kenyataannya adalah konsep bank, asuransi, dan pegadaian Barat yang diberi istilah-istilah Arab agar terkesan syariah (agus sunyoto)
You have read this article with the title Religionomic di Era Global. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/religionomic-di-era-global.html. Thanks!

No comment for "Religionomic di Era Global"

Post a Comment