Allah berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan bagimu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kalian ber-taqwa” (Q.S.2: 183).
Oleh karena puasa dalam firman Allah ini target capaiannya adalah ketaqwaan, yakni pengenalan terhadap Yang Mahagaib karena pijakan awal dari taqwa adalah mengimani yang gaib, maka berpuasa menjadi arena berlatih untuk mengenal yang gaib menurut kadar derajat dan maqam masing-masing orang yang menjalankan. Puasa sendiri merupakan ibadah yang “separuh gaib”, maksudnya puasa adalah amaliah ibadah yang tidak bisa dilihat orang dengan pancaindera sebagaimana ibadah shalat, zakat, haji, dzikir, shalawat, shodaqah, infaq, dll. Atas dasar tidak bisa dilihatnya amaliah ibadah puasa dengan pancaindera, Rasul Saw menyatakan bahwa beliau telah diberitahu Jibril bahwa Allah telah berfirman,”Al-shaum lii wa-ana ajza bihi” (puasa itu milik-Ku, dan Aku yang paling berhak memberi ganjaran untuknya).
Puasa pada hakikatnya adalah keberpantangan terhadap unsur-unsur kebendaan dan unsur-unsur nafsiah yang diwujudkan dengan berpantang makan dan minum, berpantang melampiaskan kesyahwatan, menjaga mata dari pandangan berahi, menjaga telinga dari mendengar ucapan-ucapan buruk, memelihara lidah dari berkata kotor, dan menjaga tubuh agar tidak mengikuti hal-hal duniawi yang berakibat ketidak-taatan kepada Allah. Rasul Saw bersabda,”Apabila engkau berpuasa,biarlah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu.” Rasul Saw juga bersabda,”Banyak orang yang tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Intisari dari keberpantangan dalam puasa adalah mujahadah sempurna dalam melemahkan kesadaran inderawi seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, dan perabaan agar muncul kesadaran intuitif yang tersembunyi di dalam kegaiban qalbu. Selama sebulan berpuasa, orang beriman melakukan perjuangan untuk mengenal dan mengakrabi yang gaib dari tingkat paling dasar seperti “tidak berani makan dan minum sebelum masuk maghrib meski tidak ada orang yang mengawasi”, “memperbanyak amaliah ibadah karena yakin akan beroleh pahala (sesuatu yang bersifat gaib) berlipat-lipat”, “menghindari hal-hal yang sia-sia karena bisa mengurangi kebaikan (ukhrawi) puasa”, dll. Sabda Rasul Saw,”Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu dahaga dan badan-badanmu terbuka, mudah-mudahan hati kalian bisa melihat Allah di dunia ini.”
Di babak akhir orang-orang beriman bermujahadah dengan berpuasa dalam menghayati, meresapi, mengenal, dan mengakrabi Yang Ghaib, Allah melimpahkan fase kegaiban dalam wujud peristiwa kemuliaan yang disebut Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan) yang ditandai ‘turunnya para malaikat dan ruh atas izin Tuhannya guna mengatur semua urusan... mulia-sejahterakan malam itu sampai terbit fajar’ (Q.S.97: 4-5). Pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir Ramadhan – yang diyakini sebagai turunnya karunia gaib Lailatul Qadr – orang-orang beriman berebut mencari dan memperoleh pancaran dari peristiwa gaib yang kemuliaannya melebihi seribu bulan itu. Namun hanya mereka yang sudah menangkap makna hakiki Yang Ghaib yang meliputi seluruh aspek dalam kehidupan selama mujahadah menjalankan puasa Ramadhanlah yang akan beroleh penyingkapan (kasyf) hakikat kemuliaan Lailatul Qadr. Sementara bagi mereka yang belum menangkap makna hakiki yang gaib secara maksimal selama menjalankan ibadah puasa masih membutuhkan penanda-penanda bersifat visual seperti keadaan alam – sesuai petunjuk Rasul Saw -- untuk mendapatkan Lailatul Qadr yang tersembunyi dalam selubung rahasia kegaiban.
Puncak mujahadah dalam puasa selama Ramadhan adalah dicapainya derajat taqwa, yaitu derajat manusia yang secara bashirah sudah menyaksikan penyingkapan (kasyf) haqqi qi Yang Mahagaib sebagaimana penyaksian Manusia Pertama, Adam, yang bisa berwawansabda dengan Allah dan diangkat menjadi wakil-Nya (khalifatullah) yang membuat cemburu iblis. Derajat taqwa itulah derajat tertinggi manusia yang disebut derajat Adam Ma’rifat. Oleh karena puncak kemenangan merebut derajat taqwa yang dicapai orang-orang beriman selama mujahadah puasa Ramadhan adalah pencapaian maqam Adam Ma’rifat – yaitu derajat Adam yang mengenal dekat Khaliqnya sebelum terjerumus ke dalam dosa akibat bisikan nafs-nya – maka puncak kemenangan itu disebut Idul Fitri (kembali kepada fitrah), yaitu kembali kepada fitrah manusia yang haqqi qi sebagai Adam Ma'rifat, yaitu fitrah Adam yang tidak berdosa; yang bisa melihat alam gaib; yang mengenal Penciptanya; yang membuatnya disujudi para malaikat ( Q.S.38:73) dan membuat Iblis cemburu dan mendendam (Q.S.38:74-79). Demikianlah, mereka yang beroleh kemenangan paripurna dalam mujahadah selama Ramadhan akan menduduki derajat tertinggi sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa"(Q.S.49:13) - agus sunyoto.
Sumber: Radar Malang, 29 Juli 2012
Oleh karena puasa dalam firman Allah ini target capaiannya adalah ketaqwaan, yakni pengenalan terhadap Yang Mahagaib karena pijakan awal dari taqwa adalah mengimani yang gaib, maka berpuasa menjadi arena berlatih untuk mengenal yang gaib menurut kadar derajat dan maqam masing-masing orang yang menjalankan. Puasa sendiri merupakan ibadah yang “separuh gaib”, maksudnya puasa adalah amaliah ibadah yang tidak bisa dilihat orang dengan pancaindera sebagaimana ibadah shalat, zakat, haji, dzikir, shalawat, shodaqah, infaq, dll. Atas dasar tidak bisa dilihatnya amaliah ibadah puasa dengan pancaindera, Rasul Saw menyatakan bahwa beliau telah diberitahu Jibril bahwa Allah telah berfirman,”Al-shaum lii wa-ana ajza bihi” (puasa itu milik-Ku, dan Aku yang paling berhak memberi ganjaran untuknya).
Puasa pada hakikatnya adalah keberpantangan terhadap unsur-unsur kebendaan dan unsur-unsur nafsiah yang diwujudkan dengan berpantang makan dan minum, berpantang melampiaskan kesyahwatan, menjaga mata dari pandangan berahi, menjaga telinga dari mendengar ucapan-ucapan buruk, memelihara lidah dari berkata kotor, dan menjaga tubuh agar tidak mengikuti hal-hal duniawi yang berakibat ketidak-taatan kepada Allah. Rasul Saw bersabda,”Apabila engkau berpuasa,biarlah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu.” Rasul Saw juga bersabda,”Banyak orang yang tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Intisari dari keberpantangan dalam puasa adalah mujahadah sempurna dalam melemahkan kesadaran inderawi seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, dan perabaan agar muncul kesadaran intuitif yang tersembunyi di dalam kegaiban qalbu. Selama sebulan berpuasa, orang beriman melakukan perjuangan untuk mengenal dan mengakrabi yang gaib dari tingkat paling dasar seperti “tidak berani makan dan minum sebelum masuk maghrib meski tidak ada orang yang mengawasi”, “memperbanyak amaliah ibadah karena yakin akan beroleh pahala (sesuatu yang bersifat gaib) berlipat-lipat”, “menghindari hal-hal yang sia-sia karena bisa mengurangi kebaikan (ukhrawi) puasa”, dll. Sabda Rasul Saw,”Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu dahaga dan badan-badanmu terbuka, mudah-mudahan hati kalian bisa melihat Allah di dunia ini.”
Di babak akhir orang-orang beriman bermujahadah dengan berpuasa dalam menghayati, meresapi, mengenal, dan mengakrabi Yang Ghaib, Allah melimpahkan fase kegaiban dalam wujud peristiwa kemuliaan yang disebut Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan) yang ditandai ‘turunnya para malaikat dan ruh atas izin Tuhannya guna mengatur semua urusan... mulia-sejahterakan malam itu sampai terbit fajar’ (Q.S.97: 4-5). Pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir Ramadhan – yang diyakini sebagai turunnya karunia gaib Lailatul Qadr – orang-orang beriman berebut mencari dan memperoleh pancaran dari peristiwa gaib yang kemuliaannya melebihi seribu bulan itu. Namun hanya mereka yang sudah menangkap makna hakiki Yang Ghaib yang meliputi seluruh aspek dalam kehidupan selama mujahadah menjalankan puasa Ramadhanlah yang akan beroleh penyingkapan (kasyf) hakikat kemuliaan Lailatul Qadr. Sementara bagi mereka yang belum menangkap makna hakiki yang gaib secara maksimal selama menjalankan ibadah puasa masih membutuhkan penanda-penanda bersifat visual seperti keadaan alam – sesuai petunjuk Rasul Saw -- untuk mendapatkan Lailatul Qadr yang tersembunyi dalam selubung rahasia kegaiban.
Puncak mujahadah dalam puasa selama Ramadhan adalah dicapainya derajat taqwa, yaitu derajat manusia yang secara bashirah sudah menyaksikan penyingkapan (kasyf) haqqi qi Yang Mahagaib sebagaimana penyaksian Manusia Pertama, Adam, yang bisa berwawansabda dengan Allah dan diangkat menjadi wakil-Nya (khalifatullah) yang membuat cemburu iblis. Derajat taqwa itulah derajat tertinggi manusia yang disebut derajat Adam Ma’rifat. Oleh karena puncak kemenangan merebut derajat taqwa yang dicapai orang-orang beriman selama mujahadah puasa Ramadhan adalah pencapaian maqam Adam Ma’rifat – yaitu derajat Adam yang mengenal dekat Khaliqnya sebelum terjerumus ke dalam dosa akibat bisikan nafs-nya – maka puncak kemenangan itu disebut Idul Fitri (kembali kepada fitrah), yaitu kembali kepada fitrah manusia yang haqqi qi sebagai Adam Ma'rifat, yaitu fitrah Adam yang tidak berdosa; yang bisa melihat alam gaib; yang mengenal Penciptanya; yang membuatnya disujudi para malaikat ( Q.S.38:73) dan membuat Iblis cemburu dan mendendam (Q.S.38:74-79). Demikianlah, mereka yang beroleh kemenangan paripurna dalam mujahadah selama Ramadhan akan menduduki derajat tertinggi sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa"(Q.S.49:13) - agus sunyoto.
Sumber: Radar Malang, 29 Juli 2012
You have read this article with the title Puasa Meraih Derajat Taqwa, Kembali kepada Fitrah Adam ma'rifat. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/puasa-meraih-derajat-taqwa-kembali.html. Thanks!
No comment for "Puasa Meraih Derajat Taqwa, Kembali kepada Fitrah Adam ma'rifat"
Post a Comment