Suatu Kamis sore anak-anak muda kampung dan santri berdiskusi tentang makna pengkhianat dan pahlawan di depan Mading (Majalah Dinding). Sufi Sudrun yang ingin tahu untuk apa anak-anak muda itu membincang soal pahlawan dan pengkhianat diam-diam mendekat ingin mendengar pembicaraan yang kelihatannya sangat serius itu. Namun baru beberapa jenak mendengar, mata Sufi Sudrun menangkap artikel aneh yang ditempel di mading. Dikatakan aneh, karena artikel itu judulnya cukup aneh : Sjafruddin Prawiranegara, Pemberontak Jadi Pahlawan!
Judul “Pemberontak Jadi Pahlawan”, menurut hemat Sufi Sudrun, memang aneh. Mana mungkin seorang pemberontak dijadikan pahlawan? Logika sehat Sufi Sudrun menyatakan bahwa “pemberontak bisa menjadi pahlawan” jika yang berkuasa adalah golongan pemberontak yang mengubah semua paradigma, dogma, doktrin, dan mitos sejarah yang sudah terbentuk. Itu sebabnya, dalam benak Sufi Sudrun terlintas asumsi, apakah rezim yang berkuasa sekarang ini sudah dihegemoni atau sedikitnya didominasi oleh golongan yang dulu disebut pemberontak? Tak menemukan jawaban, Sufi Sudrun membaca ulang berita yang diunduh dari detiknews.com dan diolah oleh redaktur mading dengan tambahan bahan sejarah dari sumber lain. Dan isi dari berita itu adalah sebagai berikut:
Sjafruddin Prawiranegara Pemberontak Jadi Pahlawan.
Berdarah Minang-Banten
Masyarakat Banten banyak yang terheran-heran Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai pahlawan nasional atas usul Pemerintah Banten. Banyak warga Banten beranggapan Sjafruddin merupakan orang Minangkabau, Sumatera.
Sesungguhnya pria yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 ini kelahiran Banten. Sjafruddin lahir di Anyer Kidul, Serang, Banten pada 28 Februari 1911.
Ayah Sjafruddin Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan Sultan Banten. Sang ibu, Nur Aini binti Mas Abidin Mangundiwirya, anak pejabat pangreh praja Banten.
Meski demikian, anggapan Sjafruddin merupakan orang Minang tidak terlalu salah. Kakek buyut pria yang biasa dipanggil Kuding itu, Sutan Alamintan yang berasal dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung Minang.
Sutan Alamintan mengorganisasi rakyat melawan Belanda dalam Perang Paderi. Perang Paderi adalah perang antara golongan Wahabi dengan golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah yang disebut kaum adat. Salah seorang pemimpinnya yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol. Dalam perang itu, Belanda terlibat membela kaum adat dan memerangi kaum Wahabi. Begitulah, setelah ditangkap Belanda Sutan Alamintan yang merupakan pemimpin paderi itu dibuang ke Banten.
"Sutan Alam Intan adalah orang pertama yang datang ke Anyer, Banten karena dibuang setelah ditangkap Belanda," kata ahli sejarah Nadjamudin Busro. Nadjamudin menikah dengan keponakan Sjafruddin.
Sutan Alam Intan ini lalu menikah dengan seorang wanita bangsawan keturunan Kasultanan Banten. Dari hasil pernikahannya itu lalu lahirlah kakek Sjafruddin.
Dari keluarganya, darah Sjafrudin memang darah pejuang. Tidak cuma sang kakek yang melawan Belanda. Saat Sjafruddin berumur 12 tahun, sang ayah yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena dianggap memihak pribumi.
Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad menentang aturan tersebut.
Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Sjafrudin pun mengikutinya. Dengan begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten. Tidak mengherankan bila kita akan kesulitan untuk menemukan jejak Sjafruddin di kota Jawara tersebut.
"Di sini tidak dikenal. Lah dia saja belajar Islam bukan di Banten, tapi belajar Islam di Sumatera Barat sampai dewasa dan memimpin PDRI dan PRRI saat itu," terang Nadjamudin.
Tidak mengherankan bila pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin pun mengejutkan masyarakat Banten. Mayoritas masyarakat Banten baru mengetahui bila pria yang memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini merupakan orang Banten.
"Ketika ada pemberian gelar pahlawan itu banyak juga masyarakat kaget ada orang Banten (Safruddin) mendapatkan gelar itu," kata pengamat politik dan pengajar di FISIP Universitas Tirtayasa Serang, Gandung Ismanto.
Sejumlah pegawai di Kelurahan Cikoneng, Anyer Kidul, Serang misalnya banyak yang tidak tahu sosok Sjafruddin. Pegawai lainnya mengatakan baru tahu soal Sjafruddin setelah membaca berita soal penghargaan pahlawan nasional.
"Karenanya apresiasi masyarakat Banten atas penghargaan ini kurang begitu disambut meriah, kecuali keluarga sendiri, keturunan Kasultanan Banten, masyarakat elitnya atau pemerintah daerah Banten sendiri," ungkap Gandung.
Hanya saja, sejak adanya pemberitaan pemberian gelar pahlawan nasional itu, tidak sedikit masyarakat Banten saat ini mencari tahu informasi soal sosok Sjafruddin. "Selama ini memori orang Banten lebih hafal dengan legenda soal Kasultanan Banten dan yang lainnya. Nah, sekarang mereka tahu ada putra kelahiran Banten yang mendapatkan gelar pahlawan nasional, justru ini membangkitkan dan menambah semangat tersendiri," ujar Gandung.
Tokoh Pemberontak PRRI/Permesta
Ketidaktahuan masyarakat terhadap Sjafruddin lebih diakibatkan lamanya sosok Sjafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI. Kehidupannya semakin dikucilkan dari ruang publik ketika ia dijebloskan ke penjara dengan cap pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno marah besar terhadap para tokoh yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Pasalnya, Soekarno yakin bahwa pemberontakan itu didalangi Amerika Serikat yang marah akibat kebijakan politik nasionalisasi yang dijalankan Soekarno pada tahun 1957, yaitu mengambil-alih semua perusahaan asing menjadi perusahaan nasional. Tuduhan Soekarno tidak salah, sebab dalam hitungan bulan sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dijalankan, Permesta dibentuk dalam tahun 1957 itu juga. Setelah itu tahun 1958 PRRI dibentuk dan kemudian, keduanya bergabung melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Soekarno. Dan saat terbukti Amerika Serikat berada di balik pemberontakan itu, Soekarno tidak saja menangkap dan menjebloskan tokoh-tokoh yang terlibat, melainkan membubarkan juga Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi yang menjadi motor pemberontakan PRRI/Permesta. Dan Sjafruddin yang terlibat dalam pemberontakan itu dijebloskan Soekarno ke penjara.
Bahkan, ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan alasan kutbah mereka bisa memancing emosi masyarakat. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal politik.
Hingga kini belum diketahui langkah Pemerintah Provinsi Banten dalam menyambut pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada putra asal Banten ini. "Ibu (Ratu Atut Chosiyah) sedang di Jakarta mengikuti rapat," kata salah satu ajudan Gubernur Banten, kepada detik+.
Sementara staf Humas Pemprov Banten bernama Ferry mengakui, Gubernur Banten memang akan membuat kebijakan tersendiri terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin. "Tapi Gubernur sedang tidak ada di sini. Beliau masih ada tugas ke Jakarta. Yang jelas kita bergembira akhirnya ada putra Banten yang menjadi pahlawan nasional," terangnya.
Hidup Sjafruddin Prawiranegara memang bak balada. Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tentu saja ada yang menganggap seorang pahlawan bagi bangsanya meski tak kurang yang mencapnya sebagai pemberontak yang berkhianat. Yang pasti, sebagian orang menganggapnya telah menjadi korban kezaliman penguasa sebelum akhirnya dengan sangat terlambat diakui kepahlawanannya.
Tidak bisa ditampik jasa Sjafruddin dalam mempertahankan kedaulatan NKRI sangatlah besar. Tapi untuk menetapkan lelaki ini sebagai pahlawan nasional tidak gampang. Nama Sjafruddin diajukan hingga tiga kali sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 oleh Presiden SBY. Awalnya Sjafruddin diusulkan pada 2007, lalu diusulkan lagi pada 2009. Dan baru pengusulan pada 2011 berhasil. Selain Sjafruddin, tokoh PRRI/ Permesta lain yang mendapat gelar pahlawan dari SBY adalah M.Natsir.
Pembahasan gelar pahlawan untuk Sjafruddin alot sebab terkait cap ia menjadi pemberontak dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin menjadi perdana menteri gerakan yang ditumpas oleh Soekarno itu.
PRRI bagi yang pro dikatakan lahir dari kerumitan persoalan Indonesia sebagai negara yang masih sangat muda. PRRI ingin mengingatkan Soekarno yang dianggap sewenang-wenang. Saat itu republik memang dalam kondisi yang sulit. Kemiskinan menerjang semua daerah di Indonesia. Tapi Soekarno justru sibuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan di Jakarta.
Sikap Soekarno tidak disukai panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan.
Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil Presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumitro Djojohadikusumo dan tokoh Partai Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta) Vence Sumual.
"Jadi PRRI dibentuk tahun 1958, Permesta itu tahun 1957. Karena merasa satu ideologi dan tujuan kenapa sering disebut PRRI/Permesta," jelas kerabat Sjafruddin, Nadjmudin Busro, yang juga sejarahwan asal Banten itu.
PRRI ini dibentuk oleh Panglima Divisi Banteng, Kolonel Ahmad Husein dan sejumlah stafnya, seperti Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti Muhammad Natsir, Sumitro Djojohadikusumo, M Hatta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Pada tanggal 10 Februari 1958, PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan 'Piagam Jakarta' yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Soekarno agar kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.
PRRI mengultimatum dalam tempo 5 x 24 jam Kabinet Juanda pemerintahan Soekarno harus diserahkan ke Kabinet Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta meminta Soekarno menjauhi PKI.
Saat itu Soekarno yang sedang berada di Tokyo, Jepang pun menolak tuntutan PRRI. Mendapat penolakan Soekarno, PRRI membalas dengan mengumumkan pendirian pemerintahan tandingan yaitu PRRI lengkap dengan kabinetnya. Kabinet yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 itu terdiri dari Sjafruddin sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran
"Ultimatum ini membuat Soekarno marah dan langsung membuat Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memberantas PRRI," terang Nadjmudin.
Sjafruddin menyerahkan diri kepada ibu pertiwi setelah Soekarno mengumumkan amnesti bagi para pendukung PRRI untuk menyerahkan diri sebelum 5 Oktober 1961. Namun balasannya setelah menyerah Sjafruddin dijebloskan ke penjara dan dibui selama 3,5 tahun.
"Sjafruddin ini orang jujur. Saat turun gunung dia juga menyerahkan 29 kg emas milik PRRI kepada A.H. Nasution," kata Nadjmudin.
Emas ini digunakan PRRI sebagai modal untuk perang karena saat PRRI itu, Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral. Jadi emas itu milik negara dan harus dikembalikan. Meski pernah dijebloskan ke penjara, presiden PDRI ini tidak dendam pada Soekarno. Ketika PKI hancur dan Soekarno akan disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa, Sjafruddin-lah yang membela Soekarno.
"Dia sempat berkata kalau sampai Soekarno diadili, akulah orang yang akan membelanya," jelas Nadjmudin.
PRRI bukanlah gesekan pertama Sjafruddin dengan Soekarno. Saat masih menjadi Ketua PDRI, ia pun berbeda pendapat dengan Soekarno dalam menyikapi perundingan Roem - Van Royen.
Sikap Sjafruddin dan didukung Soedirman berpendapat seharusnya PDRI yang berunding dengan Belanda, bukan Soekarno yang saat itu menjadi tawanan. Namun kala itu, gesekan antara para pemimpin RI tidak sampai menjadi perpecahan. Gesekan selesai dengan lebih mengedepankan persatuan bangsa daripada ego masing-masing.
Setelah bebas dari penjara, Sjafruddin memilih jalur dakwah dan mananggalkan panggung politik. Ia menjadi Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI) pada tahun 1985. Meski di jalur dakwah, pria bersahaja ini tetap kritis terhadap pemerintahan.
Pada masa Soeharto, Sjafruddin juga mengalami pencekalan. Ia dilarang menjadi khatib salat Idul Fitri 1404 atau 1980 terkait isi kotbahnya yang banyak berisi politik. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' akan diakukan di Masjid Al A'raf, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pada tanggal 15 Februari 1989, Sjafruddin wafat. Sang mantan Presiden PDRI ini wafat pada umur 77 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Kini, dengan diberikan gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin, maka pengikut dan pendukung PRRI semestinya juga diberi label yang sama. Sebab, pendukung dan pengikut PRRI yang dicap pemberontak oleh pemerintahan Soekarno sesungguhnya tidak salah. Pemberontakan mereka dipicu oleh persoalan perbedaan pandangan politik dan ideologi saja. Pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga menilai persoalan PRRI menjadi lebih clear dengan pemberian penghargaan pahlawan kepada Sjafruddin. Diakui Kemenhan, selama ini ada paradigma, baik pemerintah maupun TNI bahwa PRRI adalah suatu gerakan pemberontakan atau pengkhianatan. Kalau kemudian ada kebijakan baru bahwa PRRI bukan pemberontak, maka paradigma itu harus diubah.
Usai membaca berita itu Sufi Sudrun geleng-geleng kepala. Tapi saat akan membalikkan badan, ia terkejut karena hampir menabrak Sufi tua yang diam-diam membaca berita itu di belakangnya. Sambil dengan nada kaget, Sufi Sudrun berkata,”Bagaimana menurut sampeyan, kang?”
“Bagaimana apanya?” tanya Sufi tua seolah tak mengerti.
“Pemberontak jadi pahlawan,” sahut Sufi Sudrun.
“Ya itu harus sesuai hukum memutar balik putaran roda sejarah, di mana semua hal harus diubah mulai paradigma, dogma, doktrin, mitos, bahkan buku-buku sejarah pun harus diubah, termasuk buku teks bagi mata pelajaran sejarah di sekolah pun harus diubah. Singkatnya, harus ganti kurikulum,” sahut Sufi tua.
“Itu yang sulit kang,” sahut Sufi Sudrun,”Soalnya, lepas dari perdebatan PRRI itu pemberontak atau pahlawan, dalam kebijakan pemberian gelar pahlawan itu berlaku adagium bahwa yang berhak disebut pahlawan adalah para pemenang. Itu artinya, bisa saja dalam kasus pengangkatan pahlawan Sjafruddin Prawiranegara dan M.Natsir itu telah terjadi pemutar-balikan roda sejarah secara sistematis karena anasir-anasir pemberontak PRRI diam-diam sudah menjadi unsur dominan dalam kekuasaan. Maksudku, pemutar-balikan roda sejarah itu hanya mungkin terjadi jika ada anasir-anasir PRRI yang ikut campur dalam proses pemutar-balikan sejarah yang ditandai peristiwa monumental diberikannya gelar pahlawan kepada Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir. Maksudku, tanpa bermaksud su’u dzon, sangat mungkin di balik pemberian gelar pahlawan bagi kedua tokoh PRRI itu sejatinya ada kader-kader PRRI yang berjalin-berkelindan di pemerintahan dalam usaha mengubah sejarah bangsa dan negara Indonesia sesuai versi mereka,” ujar Sufi Sudrun.
“Ya bisa saja semua itu terjadi asal dilakukan berjama’ah dengan semangat seia-sekata,” sahut Sufi tua berkomentar,”Sesuai prinsip kebersamaan yang diformulasi dalam slogan “BERSAMA KITA BISA!”
Judul “Pemberontak Jadi Pahlawan”, menurut hemat Sufi Sudrun, memang aneh. Mana mungkin seorang pemberontak dijadikan pahlawan? Logika sehat Sufi Sudrun menyatakan bahwa “pemberontak bisa menjadi pahlawan” jika yang berkuasa adalah golongan pemberontak yang mengubah semua paradigma, dogma, doktrin, dan mitos sejarah yang sudah terbentuk. Itu sebabnya, dalam benak Sufi Sudrun terlintas asumsi, apakah rezim yang berkuasa sekarang ini sudah dihegemoni atau sedikitnya didominasi oleh golongan yang dulu disebut pemberontak? Tak menemukan jawaban, Sufi Sudrun membaca ulang berita yang diunduh dari detiknews.com dan diolah oleh redaktur mading dengan tambahan bahan sejarah dari sumber lain. Dan isi dari berita itu adalah sebagai berikut:
Sjafruddin Prawiranegara Pemberontak Jadi Pahlawan.
Berdarah Minang-Banten
Masyarakat Banten banyak yang terheran-heran Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai pahlawan nasional atas usul Pemerintah Banten. Banyak warga Banten beranggapan Sjafruddin merupakan orang Minangkabau, Sumatera.
Sesungguhnya pria yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 ini kelahiran Banten. Sjafruddin lahir di Anyer Kidul, Serang, Banten pada 28 Februari 1911.
Ayah Sjafruddin Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan Sultan Banten. Sang ibu, Nur Aini binti Mas Abidin Mangundiwirya, anak pejabat pangreh praja Banten.
Meski demikian, anggapan Sjafruddin merupakan orang Minang tidak terlalu salah. Kakek buyut pria yang biasa dipanggil Kuding itu, Sutan Alamintan yang berasal dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung Minang.
Sutan Alamintan mengorganisasi rakyat melawan Belanda dalam Perang Paderi. Perang Paderi adalah perang antara golongan Wahabi dengan golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah yang disebut kaum adat. Salah seorang pemimpinnya yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol. Dalam perang itu, Belanda terlibat membela kaum adat dan memerangi kaum Wahabi. Begitulah, setelah ditangkap Belanda Sutan Alamintan yang merupakan pemimpin paderi itu dibuang ke Banten.
"Sutan Alam Intan adalah orang pertama yang datang ke Anyer, Banten karena dibuang setelah ditangkap Belanda," kata ahli sejarah Nadjamudin Busro. Nadjamudin menikah dengan keponakan Sjafruddin.
Sutan Alam Intan ini lalu menikah dengan seorang wanita bangsawan keturunan Kasultanan Banten. Dari hasil pernikahannya itu lalu lahirlah kakek Sjafruddin.
Dari keluarganya, darah Sjafrudin memang darah pejuang. Tidak cuma sang kakek yang melawan Belanda. Saat Sjafruddin berumur 12 tahun, sang ayah yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena dianggap memihak pribumi.
Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad menentang aturan tersebut.
Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Sjafrudin pun mengikutinya. Dengan begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten. Tidak mengherankan bila kita akan kesulitan untuk menemukan jejak Sjafruddin di kota Jawara tersebut.
"Di sini tidak dikenal. Lah dia saja belajar Islam bukan di Banten, tapi belajar Islam di Sumatera Barat sampai dewasa dan memimpin PDRI dan PRRI saat itu," terang Nadjamudin.
Tidak mengherankan bila pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin pun mengejutkan masyarakat Banten. Mayoritas masyarakat Banten baru mengetahui bila pria yang memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini merupakan orang Banten.
"Ketika ada pemberian gelar pahlawan itu banyak juga masyarakat kaget ada orang Banten (Safruddin) mendapatkan gelar itu," kata pengamat politik dan pengajar di FISIP Universitas Tirtayasa Serang, Gandung Ismanto.
Sejumlah pegawai di Kelurahan Cikoneng, Anyer Kidul, Serang misalnya banyak yang tidak tahu sosok Sjafruddin. Pegawai lainnya mengatakan baru tahu soal Sjafruddin setelah membaca berita soal penghargaan pahlawan nasional.
"Karenanya apresiasi masyarakat Banten atas penghargaan ini kurang begitu disambut meriah, kecuali keluarga sendiri, keturunan Kasultanan Banten, masyarakat elitnya atau pemerintah daerah Banten sendiri," ungkap Gandung.
Hanya saja, sejak adanya pemberitaan pemberian gelar pahlawan nasional itu, tidak sedikit masyarakat Banten saat ini mencari tahu informasi soal sosok Sjafruddin. "Selama ini memori orang Banten lebih hafal dengan legenda soal Kasultanan Banten dan yang lainnya. Nah, sekarang mereka tahu ada putra kelahiran Banten yang mendapatkan gelar pahlawan nasional, justru ini membangkitkan dan menambah semangat tersendiri," ujar Gandung.
Tokoh Pemberontak PRRI/Permesta
Ketidaktahuan masyarakat terhadap Sjafruddin lebih diakibatkan lamanya sosok Sjafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI. Kehidupannya semakin dikucilkan dari ruang publik ketika ia dijebloskan ke penjara dengan cap pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno marah besar terhadap para tokoh yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Pasalnya, Soekarno yakin bahwa pemberontakan itu didalangi Amerika Serikat yang marah akibat kebijakan politik nasionalisasi yang dijalankan Soekarno pada tahun 1957, yaitu mengambil-alih semua perusahaan asing menjadi perusahaan nasional. Tuduhan Soekarno tidak salah, sebab dalam hitungan bulan sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dijalankan, Permesta dibentuk dalam tahun 1957 itu juga. Setelah itu tahun 1958 PRRI dibentuk dan kemudian, keduanya bergabung melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Soekarno. Dan saat terbukti Amerika Serikat berada di balik pemberontakan itu, Soekarno tidak saja menangkap dan menjebloskan tokoh-tokoh yang terlibat, melainkan membubarkan juga Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi yang menjadi motor pemberontakan PRRI/Permesta. Dan Sjafruddin yang terlibat dalam pemberontakan itu dijebloskan Soekarno ke penjara.
Bahkan, ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan alasan kutbah mereka bisa memancing emosi masyarakat. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal politik.
Hingga kini belum diketahui langkah Pemerintah Provinsi Banten dalam menyambut pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada putra asal Banten ini. "Ibu (Ratu Atut Chosiyah) sedang di Jakarta mengikuti rapat," kata salah satu ajudan Gubernur Banten, kepada detik+.
Sementara staf Humas Pemprov Banten bernama Ferry mengakui, Gubernur Banten memang akan membuat kebijakan tersendiri terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin. "Tapi Gubernur sedang tidak ada di sini. Beliau masih ada tugas ke Jakarta. Yang jelas kita bergembira akhirnya ada putra Banten yang menjadi pahlawan nasional," terangnya.
Hidup Sjafruddin Prawiranegara memang bak balada. Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tentu saja ada yang menganggap seorang pahlawan bagi bangsanya meski tak kurang yang mencapnya sebagai pemberontak yang berkhianat. Yang pasti, sebagian orang menganggapnya telah menjadi korban kezaliman penguasa sebelum akhirnya dengan sangat terlambat diakui kepahlawanannya.
Tidak bisa ditampik jasa Sjafruddin dalam mempertahankan kedaulatan NKRI sangatlah besar. Tapi untuk menetapkan lelaki ini sebagai pahlawan nasional tidak gampang. Nama Sjafruddin diajukan hingga tiga kali sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 oleh Presiden SBY. Awalnya Sjafruddin diusulkan pada 2007, lalu diusulkan lagi pada 2009. Dan baru pengusulan pada 2011 berhasil. Selain Sjafruddin, tokoh PRRI/ Permesta lain yang mendapat gelar pahlawan dari SBY adalah M.Natsir.
Pembahasan gelar pahlawan untuk Sjafruddin alot sebab terkait cap ia menjadi pemberontak dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin menjadi perdana menteri gerakan yang ditumpas oleh Soekarno itu.
PRRI bagi yang pro dikatakan lahir dari kerumitan persoalan Indonesia sebagai negara yang masih sangat muda. PRRI ingin mengingatkan Soekarno yang dianggap sewenang-wenang. Saat itu republik memang dalam kondisi yang sulit. Kemiskinan menerjang semua daerah di Indonesia. Tapi Soekarno justru sibuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan di Jakarta.
Sikap Soekarno tidak disukai panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan.
Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil Presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumitro Djojohadikusumo dan tokoh Partai Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta) Vence Sumual.
"Jadi PRRI dibentuk tahun 1958, Permesta itu tahun 1957. Karena merasa satu ideologi dan tujuan kenapa sering disebut PRRI/Permesta," jelas kerabat Sjafruddin, Nadjmudin Busro, yang juga sejarahwan asal Banten itu.
PRRI ini dibentuk oleh Panglima Divisi Banteng, Kolonel Ahmad Husein dan sejumlah stafnya, seperti Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti Muhammad Natsir, Sumitro Djojohadikusumo, M Hatta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Pada tanggal 10 Februari 1958, PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan 'Piagam Jakarta' yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Soekarno agar kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.
PRRI mengultimatum dalam tempo 5 x 24 jam Kabinet Juanda pemerintahan Soekarno harus diserahkan ke Kabinet Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta meminta Soekarno menjauhi PKI.
Saat itu Soekarno yang sedang berada di Tokyo, Jepang pun menolak tuntutan PRRI. Mendapat penolakan Soekarno, PRRI membalas dengan mengumumkan pendirian pemerintahan tandingan yaitu PRRI lengkap dengan kabinetnya. Kabinet yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 itu terdiri dari Sjafruddin sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran
"Ultimatum ini membuat Soekarno marah dan langsung membuat Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memberantas PRRI," terang Nadjmudin.
Sjafruddin menyerahkan diri kepada ibu pertiwi setelah Soekarno mengumumkan amnesti bagi para pendukung PRRI untuk menyerahkan diri sebelum 5 Oktober 1961. Namun balasannya setelah menyerah Sjafruddin dijebloskan ke penjara dan dibui selama 3,5 tahun.
"Sjafruddin ini orang jujur. Saat turun gunung dia juga menyerahkan 29 kg emas milik PRRI kepada A.H. Nasution," kata Nadjmudin.
Emas ini digunakan PRRI sebagai modal untuk perang karena saat PRRI itu, Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral. Jadi emas itu milik negara dan harus dikembalikan. Meski pernah dijebloskan ke penjara, presiden PDRI ini tidak dendam pada Soekarno. Ketika PKI hancur dan Soekarno akan disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa, Sjafruddin-lah yang membela Soekarno.
"Dia sempat berkata kalau sampai Soekarno diadili, akulah orang yang akan membelanya," jelas Nadjmudin.
PRRI bukanlah gesekan pertama Sjafruddin dengan Soekarno. Saat masih menjadi Ketua PDRI, ia pun berbeda pendapat dengan Soekarno dalam menyikapi perundingan Roem - Van Royen.
Sikap Sjafruddin dan didukung Soedirman berpendapat seharusnya PDRI yang berunding dengan Belanda, bukan Soekarno yang saat itu menjadi tawanan. Namun kala itu, gesekan antara para pemimpin RI tidak sampai menjadi perpecahan. Gesekan selesai dengan lebih mengedepankan persatuan bangsa daripada ego masing-masing.
Setelah bebas dari penjara, Sjafruddin memilih jalur dakwah dan mananggalkan panggung politik. Ia menjadi Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI) pada tahun 1985. Meski di jalur dakwah, pria bersahaja ini tetap kritis terhadap pemerintahan.
Pada masa Soeharto, Sjafruddin juga mengalami pencekalan. Ia dilarang menjadi khatib salat Idul Fitri 1404 atau 1980 terkait isi kotbahnya yang banyak berisi politik. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' akan diakukan di Masjid Al A'raf, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pada tanggal 15 Februari 1989, Sjafruddin wafat. Sang mantan Presiden PDRI ini wafat pada umur 77 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Kini, dengan diberikan gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin, maka pengikut dan pendukung PRRI semestinya juga diberi label yang sama. Sebab, pendukung dan pengikut PRRI yang dicap pemberontak oleh pemerintahan Soekarno sesungguhnya tidak salah. Pemberontakan mereka dipicu oleh persoalan perbedaan pandangan politik dan ideologi saja. Pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga menilai persoalan PRRI menjadi lebih clear dengan pemberian penghargaan pahlawan kepada Sjafruddin. Diakui Kemenhan, selama ini ada paradigma, baik pemerintah maupun TNI bahwa PRRI adalah suatu gerakan pemberontakan atau pengkhianatan. Kalau kemudian ada kebijakan baru bahwa PRRI bukan pemberontak, maka paradigma itu harus diubah.
Usai membaca berita itu Sufi Sudrun geleng-geleng kepala. Tapi saat akan membalikkan badan, ia terkejut karena hampir menabrak Sufi tua yang diam-diam membaca berita itu di belakangnya. Sambil dengan nada kaget, Sufi Sudrun berkata,”Bagaimana menurut sampeyan, kang?”
“Bagaimana apanya?” tanya Sufi tua seolah tak mengerti.
“Pemberontak jadi pahlawan,” sahut Sufi Sudrun.
“Ya itu harus sesuai hukum memutar balik putaran roda sejarah, di mana semua hal harus diubah mulai paradigma, dogma, doktrin, mitos, bahkan buku-buku sejarah pun harus diubah, termasuk buku teks bagi mata pelajaran sejarah di sekolah pun harus diubah. Singkatnya, harus ganti kurikulum,” sahut Sufi tua.
“Itu yang sulit kang,” sahut Sufi Sudrun,”Soalnya, lepas dari perdebatan PRRI itu pemberontak atau pahlawan, dalam kebijakan pemberian gelar pahlawan itu berlaku adagium bahwa yang berhak disebut pahlawan adalah para pemenang. Itu artinya, bisa saja dalam kasus pengangkatan pahlawan Sjafruddin Prawiranegara dan M.Natsir itu telah terjadi pemutar-balikan roda sejarah secara sistematis karena anasir-anasir pemberontak PRRI diam-diam sudah menjadi unsur dominan dalam kekuasaan. Maksudku, pemutar-balikan roda sejarah itu hanya mungkin terjadi jika ada anasir-anasir PRRI yang ikut campur dalam proses pemutar-balikan sejarah yang ditandai peristiwa monumental diberikannya gelar pahlawan kepada Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir. Maksudku, tanpa bermaksud su’u dzon, sangat mungkin di balik pemberian gelar pahlawan bagi kedua tokoh PRRI itu sejatinya ada kader-kader PRRI yang berjalin-berkelindan di pemerintahan dalam usaha mengubah sejarah bangsa dan negara Indonesia sesuai versi mereka,” ujar Sufi Sudrun.
“Ya bisa saja semua itu terjadi asal dilakukan berjama’ah dengan semangat seia-sekata,” sahut Sufi tua berkomentar,”Sesuai prinsip kebersamaan yang diformulasi dalam slogan “BERSAMA KITA BISA!”
You have read this article with the title Pemberontak Jadi Pahlawan, Sjafruddin Prawiranegara & M.Natsir. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/pemberontak-jadi-pahlawan-sjafruddin.html. Thanks!
Blog anjing, wahabi2 taik lo tod.
ReplyDelete