Sejak usai shalat maghrib Dullah terlihat murung. Sewaktu duduk di teras musholla beberapa kali ia terlihat menghela nafas berat dan menggaruk-garuk kepalanya. Sufi tua yang melihat gelagat kurang baik menyapa Dullah dengan pertanyaan seputar kesedihan yang dirasakannya.
Dengan suara terbata-bata Dullah menjelaskan bahwa kesedihannya itu muncul setelah ia menonton televisi.
"Lha acara apa yg bikin kamu sedih?" tanya Sufi tua ingin tahu.
"Berita pakde."
"Lha berita kok bisa bikin sedih?" Sufi tua mengngkat alis kanannya ke atas.
"Bagaimana tidak sedih, Wamen ESDM tadi menyampaikan rencana pemerintah untuk melarang mobil-2 1500 CC beli bensin. Harus pakai pertamax," sahut Dullah.
"Lha keberatanmu apa?"
"Mobil saya itu Honda Accord bikinan tahun 1983. Besar CC-nya 1600. Kalau sampai harus pakai pertamax, babak belur saya, Bayangkan, mobil saya itu ukurannya satu lima," kata Dullah.
"Apa maksud satu lima?" gumam Sufi tua penasaran.
"Satu hari dipakai, lima harus masuk bengkel," sahut Dullah terkekeh,"Lha kalau pakai Pertamax, bisa bangkrut saya."
"Ya begitulah pejabat-pejabat lulusan sekolah yang tidak tahu realita kehidupan."
"Lho beliau itu professor, pakde," tukas Dullah.
"Memangnya kalau punya gelar professor, doktor, Ph.D, MA, M.Sc kenapa?"
"Ya mereka itu pasti orang pinter, cerdas, jenius, brilian," kata Dullah memuji.
"Memang mereka itu pinter, cerdas, jenius, brilian," sahut Sufi tua dingin,"Tapi pinter dan jenius serta briliannya hanya di dalam kelas. Di dalam ruang kantor. Di balik meja."
"Maksudnya apa pakde?" Dullah penasaran.
"Ya pengetahuannya hanya sebatas ruang kelas dan buku."
"Saya belum faham pakde.."
"He dengar ya," kata Sufi tua mendekatkan mulut ke telingan Dullah,"Professor itu sejak taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA, S-1, S-2, S-3 belajarnya di dalam kelas. Mereka tidak tahu realita. Jadi kalau bikin kebijakan pasti tidak realistis."
"Iya juga pakde," kata Dullah manggut-manggut,"Kalau pakde sendiri bagaimana mengatasi masalah BBM ini?"
"Gampang aja," sahut Sufi tua menjelaskan,"Pemerintah beli minyak ke Iran langsung dengan harga normal 78 USD per barel. Jadi tidak bingung dengan kenaikan harga minyak dunia. BBM tidak perlu naik."
"Tapi apa berani pemerintah beli minyak ke Iran? Bukankah Jepang sudah didamprat AS gara-gara beli minyak ke Iran. Jepang mengkeret. Lalu mengurangi pembelian minyak ke Iran. Turki juga sudah dihardik AS tapi masih bandel. Bagaimana ini pakde?" tanya Dullah.
"Ya salahnya sendiri, belum apa-apa sudah gak berani sama AS sehingga terus beli dari kilang-kilang milik Chevron, Exxon mobile, Caltex, Amerada Hess, Shell yang harganya selangit. Siapa suruh takut?" gumam Sufi tua.
"Wah kita ini diam-diam kayak bangsa terjajah aja ya pakde?"
"Memangnya kapan kamu merasa merdeka?"
Dengan suara terbata-bata Dullah menjelaskan bahwa kesedihannya itu muncul setelah ia menonton televisi.
"Lha acara apa yg bikin kamu sedih?" tanya Sufi tua ingin tahu.
"Berita pakde."
"Lha berita kok bisa bikin sedih?" Sufi tua mengngkat alis kanannya ke atas.
"Bagaimana tidak sedih, Wamen ESDM tadi menyampaikan rencana pemerintah untuk melarang mobil-2 1500 CC beli bensin. Harus pakai pertamax," sahut Dullah.
"Lha keberatanmu apa?"
"Mobil saya itu Honda Accord bikinan tahun 1983. Besar CC-nya 1600. Kalau sampai harus pakai pertamax, babak belur saya, Bayangkan, mobil saya itu ukurannya satu lima," kata Dullah.
"Apa maksud satu lima?" gumam Sufi tua penasaran.
"Satu hari dipakai, lima harus masuk bengkel," sahut Dullah terkekeh,"Lha kalau pakai Pertamax, bisa bangkrut saya."
"Ya begitulah pejabat-pejabat lulusan sekolah yang tidak tahu realita kehidupan."
"Lho beliau itu professor, pakde," tukas Dullah.
"Memangnya kalau punya gelar professor, doktor, Ph.D, MA, M.Sc kenapa?"
"Ya mereka itu pasti orang pinter, cerdas, jenius, brilian," kata Dullah memuji.
"Memang mereka itu pinter, cerdas, jenius, brilian," sahut Sufi tua dingin,"Tapi pinter dan jenius serta briliannya hanya di dalam kelas. Di dalam ruang kantor. Di balik meja."
"Maksudnya apa pakde?" Dullah penasaran.
"Ya pengetahuannya hanya sebatas ruang kelas dan buku."
"Saya belum faham pakde.."
"He dengar ya," kata Sufi tua mendekatkan mulut ke telingan Dullah,"Professor itu sejak taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA, S-1, S-2, S-3 belajarnya di dalam kelas. Mereka tidak tahu realita. Jadi kalau bikin kebijakan pasti tidak realistis."
"Iya juga pakde," kata Dullah manggut-manggut,"Kalau pakde sendiri bagaimana mengatasi masalah BBM ini?"
"Gampang aja," sahut Sufi tua menjelaskan,"Pemerintah beli minyak ke Iran langsung dengan harga normal 78 USD per barel. Jadi tidak bingung dengan kenaikan harga minyak dunia. BBM tidak perlu naik."
"Tapi apa berani pemerintah beli minyak ke Iran? Bukankah Jepang sudah didamprat AS gara-gara beli minyak ke Iran. Jepang mengkeret. Lalu mengurangi pembelian minyak ke Iran. Turki juga sudah dihardik AS tapi masih bandel. Bagaimana ini pakde?" tanya Dullah.
"Ya salahnya sendiri, belum apa-apa sudah gak berani sama AS sehingga terus beli dari kilang-kilang milik Chevron, Exxon mobile, Caltex, Amerada Hess, Shell yang harganya selangit. Siapa suruh takut?" gumam Sufi tua.
"Wah kita ini diam-diam kayak bangsa terjajah aja ya pakde?"
"Memangnya kapan kamu merasa merdeka?"
You have read this article with the title Mobil 1500 wajib pakai Pertamax. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/mobil-1500-wajib-pakai-pertamax.html. Thanks!
No comment for "Mobil 1500 wajib pakai Pertamax"
Post a Comment