Kebijakan BBM dan State Capitalism

Gara-gara pemerintah menetapkan kebijakan mobil pribadi  plat hitam tidak boleh beli bensin tapi harus pertamax, Dullah pusing tujuh keliling. Soalnya, mobil Honda Accord 1983 yang sudah terseok-seok jalannya itu bakal tidak bisa jalan. Pasalnya, harga mobil dengan BBM yang digunakan mahal BBM. Dan pusingnya tambah lagi tujuh keliling sewaktu tersiar kabar pemerintah menetapkan lagi kebijakan untuk mengkonversi BBM ke gas. Aduh Gusti, keluh Dullah dalam hati, kebijakan satu belum jalan sudah disusul kebijakan lain.

        Ketika Dullah memutuskan untuk menjual mobil bututnya seharga Rp 5 juta, ia terkejut ketika menawarkan kepada Sukiran. Pasalnya, Sukiran juga berniat menjual mobil Toyota 1978 yang terkenal dengan sebutan mobil irit “satu duabelas” (satu hari dipakai 12 hari masuk bengkel). Alasan Sukiran sama dengan Dullah, tidak akan mampu naik mobil butut dengan biaya BBM mahal.

        Akhirnya, sambil menggerutu Dullah dan Sukiran menuturkan kebingungan mereka kepada Sufi tua yang sedang berbincang dengan Sufi Sudrun dan Sufi Kenthir di teras mushola. Tidak menanggapi keluhan, Sufi tua malah dengan dingin menggumam,”Ya hidup pasar bebas harus patuh mengikuti hukum pasar, yaitu harus punya duit banyak untuk membeli segala sesuatu. Soalnya, yang dinamakan pasar itu adalah tempat komoditas dijual.”

         “Tapi kenyataannya, kita hidup di Negara Bangsa pakde,” sahut Dullah memprotes,”Negara Bangsa berbentuk Republik.”

         “Kamu itu selalu telat menghadapi perubahan,” kata Sufi tua yang mantan intelijen,”Negara sudah berubah bertahun-tahun, pandanganmu tetap gak berubah. Itu artinya, kamu itu termasuk orang korban doktrin.”

        “Maksud sampeyan Negara sudah berubah itu bagaimana pakde?” Dullah penasaran.

        “Lha kita kan masih hidup di Negara Kesatuan pakde?”

        “Negara Kesatuan gundulmu,” sahut Sufi tua,”Apa kamu tidak sadar bahwa sejak ditandatanganinya penjadwalan globalisasi AFTA (2003), CAFTA (2010) dan WTO (2014 dalam KTT APEC tahun 1994 di Bogor, angin perubahan sudah menyambar Negara Kesatuan tercinta ini. Sewaktu terjadi krisis moneter yang ditandai penanda-tanganan Letter of Intens antara Michael Camdessus dengan Soeharto yang berujung dengan pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dilanjut  penjualan aset-aset Negara lewat BPPN, pemiskinan Negara Kesatuan berlangsung dengan ganas. Ketika terjadi reformasi, terbentuk konspirasi untuk mengakhiri hidup Negara Kesatuan. Dan saat Undang-undang Dasar 1945 diamandemen antara 2001 - 2004, itulah era kematian Negara Kesatuan yang digantikan Kapitalisme Negara (State Capitalism).”

            “Apa itu State Capitalism pakde?” Tanya Dullah ingin tahu.

            “Menurut teori Immanuel Wallerstein,  sistem imperialisme dunia adalah sebuah sistem yang melembagakan dan melanggengkan struktur hegemoni dan hierarki negara-negara Dunia Pertama (core) dengan negara-negara Dunia Kedua dan Dunia Ketiga (periphery). . Negara Dunia Pertama (core) yang  mempunyai tingkat distribusi dan produksi industri yang sangat tinggi, adalah negara terkuat, karena ia memiliki kelas kapitalis  yang kuat dan kelas pekerja yang besar. Sebaliknya, negara pinggiran (periphery) memiliki tingkat produksi yang rendah. Menurut Chase-Dunn dalam Global Formation: Structures of the World-Economy  hubungan  Negara  pusat (core) dan negara pinggiran (periphery) bersifat hierarkis dan merupakan struktur dominasi dan eksploitasi serta ketergantungan  antar Negara. Dalam perspektif politik dominasi dan eksploitasi serta  ketergantungan itulah, hubungan antar-negara sesungguhnya tidak bersifat equal, melainkan yang kuat akan mengeksploitasi dan mengakumulasi, sedang yang lemah sekedar men-suplai dan tergantung pada yang kuat,” kata Sufi tua menjelaskan.

    “Tapi pakde, katanya sudah masuk era global, tidak perlu lagi ada batas-batas etnis, bahasa, agama, budaya, bahkan batas territorial Negara sudah tidak ada lagi, bagaimana sampeyan menyatakan masih ada praktek dominasi, eksploitasi dan ketergantungan antar Negara?”

            “Kamu jangan selalu meng-iya-kan saja dengan omongan orang tentang globalisasi. Sebab menurut  James O’Connor dalam The Meaning of Economic Imperialism   globalisasi itu  pada hakikatnya adalah  Neo Imperialisme itu sendiri. Ia  ditandai oleh dua hal pokok. Pertama, ia menuntut partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara imperialis tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neo-kolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara (state capitalism) dari Negara pinggiran (periphery). Itu sebabnya, kebijakan neo-kolonial didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan konsolidasi politik dan sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia. Jadi yang disebut State Capitalism itu adalah Negara pinggiran di dunia ketiga yang semua kebijakannya menguntungkan Negara pusat (core) sekali pun merugikan dan menyengsarakan warganegaranya,” kata Sufi tua menjelaskan sejelas-jelasnya.

            “Lha masak iya, ada pemerintah Negara Kesatuan menjadikan negaranya sebagai State Capitalism?” Tanya Sukiran menyela.

            “Faktanya ada, yaitu orang-orang berjiwa kacung dan jongos yang dengan bangga menepuk dada sebagai penganut Neolibs yang  mengabdi kepada kepentingan Negara lain,” kata Sufi Tua.

            “Buktinya apa pakde?”

            “Kebijakan mobil pribadi plat hitam  tidak boleh beli bensin dengan alasan bensin itu BBM yang disubsidi. Mobil-mobil pribadi plat hitam harus beli Pertamax,” kata Sufi tua.

             “Lha hubungannya dengan State Capitalism?” tanya Sukiran belum faham.

             “Yang untung dengan kebijakan itu siapa? Yang dirugikan siapa?” kata Sufi tua dengan nada tanya.

             “Siapa pakde?” sahut Sukiran,”Apa bukan Pertamina?”

             “Lho apa kamu tidak tahu kalau pertamax itu produksi perusahaan-perusahaan minyak asing?”

             “Woo begitu ya?” sahut Sukiran geleng-geleng kepala,”Yang rugi masyarakat. Yang untung pemilik perusahaan minyak asing.”

             “O iya pakde, aku tadi lihat di TV ada debat antara Bung Effendi Simbolon dari Fraksi PDI-P dengan Wakil menteri ESDM. Waktu Bung Effendi Simbolon  mendesak, pak wamen soal siapa sebenarnya yang pesan kebijakan ini, pak wamen kentara blingsatan.Didesak terus untuk terbuka saja, tetap tidak komentar apa-apa. Ooo aku jadi faham sekarang. Yang diuntungkan dalam kebijakan ini ternyata kapitalis asing. Sedang yang dirugikan justru warganegara sendiri. Oo State Capitalism...Hmmmm,” Dullah manggut-manggut.
You have read this article with the title Kebijakan BBM dan State Capitalism. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/kebijakan-bbm-dan-state-capitalism.html. Thanks!

No comment for "Kebijakan BBM dan State Capitalism"

Post a Comment