Korporasi versus Disposable People

oleh Agus Sunyoto

           Ketika menerima kabar bahwa  uji materi pasal 18 dan 19 UU No.4/2012 tentang APBN Perubahan yang menjadi dasar pengucuran uang negara untuk penanggulangan dampak semburan lumpur Lapindo yang diajukan telah ditolak Mahkamah Konstitusi, Roben dan Patek menarik nafas panjang dan menghembuskannya keras-keras. Lepas dari argumen Mahkamah Konstitusi yang menyataan bahwa pemerintah harus ikut memikul tanggung jawab atas masalah yang diderita korban di luar peta area terdampak (PAT) agar korban mendapat kepastian hukum, yang pasti negara telah dirugikan dan sebaliknya korporasi PT Lapindo Brantas Inc diuntungkan besar-besaran.

    Dengan kepala dipenuhi kilasan tanda tanya Roben dan Patek didampingi Dullah menghadap Guru Sufi yang sedang berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun dan Sufi Kenthir. Dengan wajah murung Roben mengungkapkan kegelisahan hatinya menghadapi kasus tidak masuk akal seputar penolakan uji materi pasal 18 dan 19 UU No.4/2012 tentang APBN Perubahan. “Sekali pun alasannya untuk kebaikan rakyat sebagai korban, tapi kan semua orang tahu bahwa negara telah dirugikan dan sebaliknya Lapindo Brantas Inc diuntungkan...Ini logika apa yang dipakai?” kata Roben sedih.

    “Itu memang konsekuensi logis dari diterapkannya konsep Open Society yang digagas George Soros, Ben,” sahut Guru Sufi.

    “Open Society bagaimana, Mbah Kyai?” sahut Roben tidak faham,”Mohon petunjuk.”

     “Open Society itu dikemukakan George Soros dalam buku berjudul On Soros: Staying Ahead of the Curve  yang menegaskan  bahwa  seiring meredanya ketegangan perang dingin (cold war) antara Barat dengan Timur yang ditandai  runtuhnya komunisme, terjadi fenomena global, yaitu lahirnya tatanan baru yang disebut a global open society, yakni tatanan baru masyarakat dunia  yang terbuka yang dibangun di atas empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan di mana situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasar kontrak sosial di mana individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang  secara global tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah masalah pilihan seperti  orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi. Itulah definisi ‘masyarakat global yang terbuka’ yang dilontarkan George Soros sebagai representasi pemikiran kapitalis global,” ungkap Guru Sufi menjelaskan.

       “Berarti masyarakat terbuka itu terdiri dari individu-individu yang tidak memiliki identitas tertentu seperti identitas etnis, budaya, bahasa, agama, nasionalisme?” tanya Roben.

      “Ya seperti itu, masyarakat terbuka (open society) adalah sebuah masyarakat bersifat trans-nasional yang tidak dibatasi ras, suku, budaya, bahasa, teritorial, agama. Sebuah  masyarakat terbuka yang hak-hak asasi dan kebebasannya dilindungi oleh undang-undang di berbagai negara. Masyarakat yang bebas menentukan nilai-nilai apa yang dianut dan bebas melakukan spekulasi yang dianggap menguntungkan,” ujar Guru Sufi.

    “Itu berarti persaingan antar individu dalam merebut sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik tetap ada kan, Mbah Kyai?” tanya Patek menyela.

     “Ya sudah pasti, tetapi bukan lagi seperti teori Marxis dulu yang memilah persaingan itu ke dalam dua kelompok besar Borjuis dan proletar, melainkan persaingan antar individu secara bebas bersifat trans-nasional,” kata Guru Sufi.

    “Namanya persaingan bebas, Mbah Kyai,” kata Patek menyimpulkan,”Berarti akan memunculkan keniscayaan pemenang persaingan dan pecundang, begitu kan Mbah Kyai?”

    “Ya sudah pasti itu.”

    “Apa nama kelompok pemenang persaingan?” tanya Patek ingin tahu.

    “Soros tidak bicara soal pemenang dan pecundang dalam persaingan. Ia hanya bicara tentang masyarakat mengambang (floating mass) dalam konteks open society itu,” sahut Patek.

    “Itu gagasan tidak masuk akal karena menyembunyikan sesuatu,” kata Patek,”Kalau menurut Mbah Kyai sendiri, apa akibat dari persaingan antar individu dalam open society itu?”

    “Ya pemenang dan pecundang, pastinya.”

    “Pemenangnya disebut apa, Mbah Kyai?”

    “Menurutku harus disebut Capitalist,” kata Guru Sufi,”Yaitu penguasa kapital yang memperkuat diri dalam wujud korporasi trans-nasional dan multi-nasional.”

    “Lha yang kalah disebut apa?”

    “Disposable people.”

    “Contohnya apa mbah Kyai?”

    “Ya konflik korporasi Lapindo Brantas versus warga korban, konflik RS Omni International versus Prita, konflik warga alas Telogo Pasuruan versus perkebunan, konflik perusahaan sawit versus warga Mesuji, warga Sumbawa versus PT Newmont, itulah fakta yang hanya muncul ketika konsep open society diterapkan,” kata Guru Sufi.

    “Lha jadinya korporasi tetap menang Mbah Kyai, karena hanya korporasi yang punya kapital besar untuk memenangkan persaingan,” kata Roben dan Patek bersamaan.

    “Ya memang itu yang dikehendaki kapitalisme global,” kata Guru Sufi,”Bahkan kalau pun disposable people tidak dikalahkan, institusi negara yang dirugikan.”

    “KAMPREEEET!”

    “Semua bermuara pada UUD – Ujung ujungnya DUIT!”

    “Apalagi lagi sekarang ini banyak orang lagi butuh dana gede untuk Pilpres, Pileg,.. korporasi pasti dimenangkan!”
You have read this article with the title Korporasi versus Disposable People. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/12/korporasi-versus-disposable-people.html. Thanks!

1 comment for "Korporasi versus Disposable People"