Di tengah hiruk orang-orang membincang berbagai reaksi terhadap film Innocence of Islam, termasuk gagasan reaksi pasif memboikot produk Amerika dan Perancis, tiba-tiba Sufi Jadzab menangis tersedu-sedu sambil sesekali mengomel tentang “murka Tuhan”. Sukiran yang tidak faham maksud Sufi Jadzab memandang Dullah seolah minta penjelasan di mana Dullah sendiri hanya menggelengkan kepala. Setelah tangis Sufi Jadzab mereda, Dullah bertanya,”Ada apa Mbah sampeyan menangis? Siapa pula umat yang sampeyan maksud ditimpa murka Tuhan?”
“Aku menangis karena tidak sampai hati melihat kesengsaraan umat Islam yang dihajar bencana alam bertubi-tubi, hidup dalam suasana tidak aman, nyawanya terancam di mana-mana, masih juga direndahkan dan dihinakan oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini..hu hu.,” sahut Sufi Jadzab menangis.
“Lalu yang ditimpa murka Tuhan itu siapa?” tanya Dullah penasaran ingin tahu.
“Ya siapa lagi yang ditimpa murka Tuhan kalau bukan umat yang ditimpa bencana, direndahkan dan dihinakan itu,” sahut Sufi Jadzab
“Jadi umat Islam sekarang ini ditimpa murka Tuhan, begitu Mbah?” tanya Sukiran heran.
“Tidak semua. Sebagian besar diazab dalam bentuk hinaan, nistaan, caci maki,keridak-tenangan, ancaman, siksaan, bahkan pembunuhan,”kata Sufi Jadzab tersedu-sedu.
“Apa yang menyebabkan mereka ditimpa murka Tuhan, Mbah?” tanya Dullah penasaran.
“Mereka jadi umat Semprul! Umat Sontoloyo! Umat beragama yang tidak beriman! Gusti Allah murka! Malaikat menggeram! Alam menggelegak! ”
“Hwarakadah! Jangan asal menuduh Mbah. Itu bisa jadi fitnah,” kata Dullah mengingatkan.
Sufi Jadzab menangis makin keras. Sufi tua yang duduk di sebelah Sufi Jadzab menyahut dengan suara datar,”Bisa juga bagian terbesar umat Islam sekarang ini, terutama sebangsa kita telah menjadi umat semprul, umat sontoloyo, umat beragama yang tidak beriman. Bisa jadi itu benar!”
“Alasannya apa pakde?” tanya Sukiran.
“Sehari semalam paling sedikit umat Islam berikrar dalam shalat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, hanya kepada Allah menyembah dan hanya kepada Allah menggantungkan semua harapan,” sahut Sufi tua dengan nada sinis,”Tapi dalam kenyataan riil, mereka adalah penyembah hawa nafsu mereka sendiri dan mereka menggantungkan harapan kepada selain Allah. Mereka menggantungkan segala harapan kepada ijazah sekolah, gelar akademik, pangkat, jabatan, praktek kolusi, nepotism, koneksi, sistem despotik yang merusak tatanan kebenaran.”
“Benar juga pakde,” sahut Sukiran manggut-manggut,”Hampir semua orang yakin dan mengimani bahwa barangsiapa di antara manusia yang tidak memiliki ijazah sekolah dan tidak memiliki gelar akademik kesarjanaan, maka hidupnya akan sengsara di dunia dan akhirat. Mereka mengimani bahwa sukses dan tidak sukses kehidupan orang seorang ditentukan oleh ijazah dan gelar akademik. Barangsiapa yang tidak bersekolah dan tidak memiliki ijazah sekolah dengan gelar akademiknya, maka hidupnya akan miskin, bodoh, sengsara, terhina dalam kehidupan. Padahal, fakta menunjuk berapa banyak manusia sukses tanpa melewati pendidikan di sekolah dan tanpa gelar akademis.”
“Mengimani bahwa penentu nasib orang seorang bukan Tuhan melainkan ijazah dan gelar akademik, itu sudah masuk kategori musyrik,” sahut Dullah berkomentar.
“Apa yang mereka ucapkan, terbukti tidak sama dengan apa yang mereka perbuat,” kata Sufi Kenthir menyela,”Itu tanda mereka itu orang munafik.”
“Gaya hidup mereka sudah sama dengan gaya hidup kaum musyrikin pemuja nafsu rendah duniawi, yaitu gaya hidup yang dikehendaki dan dirancang oleh kaki tangan Dajjal, di mana dengan gaya hidup seperti itu mereka menjadi sangat tergantung dengan aneka ragam komoditas yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan MNC dan TNC milik Dajjal,” sahut Sufi Sudrun.
“Itu sebabnya, mereka tidak lagi disebut sebagai qaum al-mu’minin, yaitu umat beriman yang dimuliakan, ditinggikan, dikuatkan, diteguhkan Allah; umat yang tidak tergantung kepada siapa pun kecuali Allah, umat yang mandiri, pemberani dan disegani. Bukan! Mereka bukan qaum al-mu’minin. Sebaliknya, mereka telah menjadi komunitas manusia berstatus konsumen hamba setia kapitalis, yang berjiwa konsumtif, egoistis, hedonis, narsis, materialis, lemah, tidak berdaya. Ya, mereka adalah kawanan manusia konsumtif yang kebingungan diterjang air bah benda-benda produksi yang menyeret mereka ke tengah lautan komoditas tak bertepi,” kata Sufi tua.
“Apa maksudnya konsumen hamba setia kapitalis pakde? Apa pula maksud terseret air bah benda-benda produksi dan lautan komoditas?” gumam Sukiran belum faham minta penjelasan.
“Umat Islam yang mengaku beriman tetapi hidupnya sudah sangat tergantung kepada aneka ragam komoditas produksi dari perusahaan-perusahaan MNC dan TNC kapitalis, itulah yang disebut konsumen hamba setia kapitalis,” kata Sufi tua.
“Maksudnya bagaimana, belum faham saya pakde,” kata Sukiran.
“Mereka itu adalah orang-orang beragama Islam tetapi sejak bangun tidur, beraktivitas sehari-hari hingga tidur lagi tidak bisa melepaskan diri dari aneka ragam komoditas yang diproduksi raksasa-raksasa kapitalis. Tegasnya, mereka itu orang beragama Islam yang berstatus konsumen setia pengguna produk perusahaan-perusahaan MNC dan TNC milik kapitalis Amerika, Perancis, Inggris,” kata Sufi tua.
“Contoh riilnya bagaimana pakde?” tanya Sukiran bersamaan dengan Dullah.
“Sejak bangun tidur turun dari ranjang, orang-orang Islam berstatus konsumen setia kapitalis itu sudah menginjak lantai kamar tidurnya yang berupa keramik American Tile. Sewaktu masuk kamar mandi mulai lantai, wastafel, bathtubs, closed, dan kran airnya, semua standard America. Pada waktu menyikat gigi mereka pakai pasta gigi merk Close Up, Pepsodent, Darkie. Saat keramas mereka pakai shampoo merk Clear. Dove, dengan conditioning merk TRESemme. Waktu mandi mereka memakai sabun merk Cussons, Dove, Dettol, Lifebuoy, Imperial Leather,.”
“Wah benar itu,”sahut Sukiran cengingisan,”Saya juga pakai merk-merk itu.”
“Habis mandi badan disemprot wewangian merk Lancome, rambut diminyaki merk Mandom, pakai celana dalam merk Tootal, singlet merk Balmora, kemeja merk Charles Jourdan, celana merk Charles Arden, Ralph Laurent, sabuk merk Crocodile, kaus kaki merk Timberland, sepatu merk Bally, Nike, Adidas. Setelah necis kemeja disemprot minyak wangi merk Calvin Klein, Polo, Giorgio Armani,” kata Sufi tua.
“Kalau itu sih, saya tidak mampu beli pakde.”
“Sarapan pagi dengan menu roti tawar dioles mentega merk Blue Band, minum susu produk Nestle, minum air mineral merk Aqua.”
“Kalau saya sih, cuma biasa sarapan pecel.”
“Sebelum berangkat ke kantor, pesan kepada pembantu untuk tidak lupa mencuci pakaian olahraganya dengan deterjen merk Rinso dengan pewangi merk Molto. Setelah itu memeriksa tas merk Louis Vuitton yang berisi pulpen merk Parker, Credit Card Citybank, fotokopi dokumen Xerox, note book merk Apple. Di saku terselip hand-phone Blackberry..”
“Itu orang kantoran pakde,” sahut Sukiran.
“Keluar bawa mobil Audy diisi Pertamax produk Exxon Mobile, Caltex, yang dijual di SPBU berlabel Pertamina. Lalu ganti oli dengan oli merk Top 1.”
“Tajir banget. Saya mau jadi sopirnya,” sahut Sukiran.
“Sampai di kantor, sudah tersedia semua peralatan mulai computer, mebeler, instalasi listruk, document keeper, alat-alat tulis, mesin pengisap debu, jaringan komunikasi, pesawat telepon, televisi, sampai pewangi ruangan, semua menggunakan produk standard Amerika..”
“Hanya keset, septictank, air ledeng yang asli lokal…”
“Untuk minum para pegawai, jongos kantor selalu menyediakan kopi merk Nescafe dengan krimer merk Coffee-mate, air mineral merk Aqua, teh merk Lipton, dengan biscuit Danone, biscuit Jacob, LU biscuit, coklat Starbuck.”
“Itu kelasnya orang kantoran, pakde.”
“Kamu itu kurang gaul, le,” sahut Sufi tua melanjutkan,”Sekarang ini gaya hidup konsumeris yang tergantung komoditas produksi Kapitalis bukan hanya dianut orang-orang kantoran, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat middle-class sampai grass-root. Lihat saja, bagaimana orang-orang masuk ke CafĂ© Starbuck menikmati segelas American Coffee, Cappuccinno, Moccaccinno, dengan sepotong Croissant hanya sekedar untuk terlihat seperti orang dari kalangan high-class. Begitu juga orang kampung beramai-ramai antri masuk ke Resto Wendys, KFC, McDonald, Dunkin’ Donut’s, Pizza Hut, Arbys, Texas Fried Chicken, Baskin Robbins untuk sekedar menaikkan gengsi,” kata Sufi tua.
“Aduh, aku kena sindir ini,” sahut Dullah garuk-garuk kepala.
“Bahkan sekarang ini bermunculan kelompok-kelompok masyarakat eksklusif yang menandai keberadaan diri mereka dengan membentuk jaringan Blackberry, di mana mereka itu merasa sudah jadi manusia super modern karena memiliki HP Blackberry. Orang-orang yang menggunakan HP Cina dianggap sebagai golongan grass-root. Pendek kata, di kalangan masyarakat consumer itu terbentuk pandangan stigmatic bahwa segala sesuatu yang memiliki icon Amerika adalah superior,” kata Sufi tua.
“Ya memangnya Amerika sudah menjadi “tuhan” di dunia,” sahut Sufi Kenthir,”Maka hampir tidak ada bangsa yang tidak tunduk dan patuh kepada Amerika, kecuali sekumpulan orang gak waras yang disebut kaum sufi yang hidup di pesantren kumuh macam ini.”
“Itu benar sekali,” sahut Sufi tua,”Jangankan masyarakat, Negara kita pun terkencing-kencing kalau Duli Paduka Yang Mulia Dajjal yang bertahta di Amerika sudah menggeram atau sekedar batu-batuk kecilk.”
“Ah, apa iya begitu pakde?” tukas Dullah penasaran,”Negara kita itu hebat pakde.”
“Ya lihat saja faktanya, waktu pemerintah akan beli pesawat Sukhoi SU-27 SKM dan SU-30 MK2 masing-masing 3 unit senilai 350 juta USD, tanpa terduga Amerika menghibahkan pesawat F-16 sebanyak 24 unit. Sewaktu hibah diterima, tiba-tiba Amerika minta Indonesia membiayai perbaikan pesawat-pesawat rombengan yang sudah tidak bisa terbang itu senilai 750 juta USD. Begitulah, tanpa sedikit pun bisa membantah pemerintah membeli pesawat rongsokan itu senilai 6 triliun lebih. Sekarang ini, dengan cara "hibah" pula Amerika memaksa pemerintah membeli 10 pesawat F-16 rongsokan ditambah helikopter-helikopter rombengan,” papar Sufi tua.
“Ya kalau pemerintah saja tidak berani berkata "tidak" kepada Amerika, apalagi masyarakat? Gumam Dullah.
“Itulah sebabnya, umat Islam, termasuk sebangsa kita, ditimpah murka Allah. Sebab mereka sudah menggantungkan seluruh hajat hidup mereka kepada Dajjal penyesat. Meski mulut mereka menyatakan beriman kepada Allah dan kadang-kadang berteriak anti Amerika, tapi dalam kenyataan mereka sangat tergantung pada komoditas yang diproduksi perusahaan-perusahaan Amerika.”
“Kenyataannya memang seperti itu, kang,” sahut Sufi Kenthir.
“Tapi mereka tidak bisa disalahkan,” sahut Sufi tua.
“Kenapa begitu pakde?” sergah Sukiran.
“Karena Rasulullah Saw sudah meramalkan, bahwa sebagian di antara umat beliau akan menjadi pengikut Dajjal,” jawab Sufi tua.
"NAUDZUBILLAH TSUMMA NAUDZUBILLAH!"
“Aku menangis karena tidak sampai hati melihat kesengsaraan umat Islam yang dihajar bencana alam bertubi-tubi, hidup dalam suasana tidak aman, nyawanya terancam di mana-mana, masih juga direndahkan dan dihinakan oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini..hu hu.,” sahut Sufi Jadzab menangis.
“Lalu yang ditimpa murka Tuhan itu siapa?” tanya Dullah penasaran ingin tahu.
“Ya siapa lagi yang ditimpa murka Tuhan kalau bukan umat yang ditimpa bencana, direndahkan dan dihinakan itu,” sahut Sufi Jadzab
“Jadi umat Islam sekarang ini ditimpa murka Tuhan, begitu Mbah?” tanya Sukiran heran.
“Tidak semua. Sebagian besar diazab dalam bentuk hinaan, nistaan, caci maki,keridak-tenangan, ancaman, siksaan, bahkan pembunuhan,”kata Sufi Jadzab tersedu-sedu.
“Apa yang menyebabkan mereka ditimpa murka Tuhan, Mbah?” tanya Dullah penasaran.
“Mereka jadi umat Semprul! Umat Sontoloyo! Umat beragama yang tidak beriman! Gusti Allah murka! Malaikat menggeram! Alam menggelegak! ”
“Hwarakadah! Jangan asal menuduh Mbah. Itu bisa jadi fitnah,” kata Dullah mengingatkan.
Sufi Jadzab menangis makin keras. Sufi tua yang duduk di sebelah Sufi Jadzab menyahut dengan suara datar,”Bisa juga bagian terbesar umat Islam sekarang ini, terutama sebangsa kita telah menjadi umat semprul, umat sontoloyo, umat beragama yang tidak beriman. Bisa jadi itu benar!”
“Alasannya apa pakde?” tanya Sukiran.
“Sehari semalam paling sedikit umat Islam berikrar dalam shalat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, hanya kepada Allah menyembah dan hanya kepada Allah menggantungkan semua harapan,” sahut Sufi tua dengan nada sinis,”Tapi dalam kenyataan riil, mereka adalah penyembah hawa nafsu mereka sendiri dan mereka menggantungkan harapan kepada selain Allah. Mereka menggantungkan segala harapan kepada ijazah sekolah, gelar akademik, pangkat, jabatan, praktek kolusi, nepotism, koneksi, sistem despotik yang merusak tatanan kebenaran.”
“Benar juga pakde,” sahut Sukiran manggut-manggut,”Hampir semua orang yakin dan mengimani bahwa barangsiapa di antara manusia yang tidak memiliki ijazah sekolah dan tidak memiliki gelar akademik kesarjanaan, maka hidupnya akan sengsara di dunia dan akhirat. Mereka mengimani bahwa sukses dan tidak sukses kehidupan orang seorang ditentukan oleh ijazah dan gelar akademik. Barangsiapa yang tidak bersekolah dan tidak memiliki ijazah sekolah dengan gelar akademiknya, maka hidupnya akan miskin, bodoh, sengsara, terhina dalam kehidupan. Padahal, fakta menunjuk berapa banyak manusia sukses tanpa melewati pendidikan di sekolah dan tanpa gelar akademis.”
“Mengimani bahwa penentu nasib orang seorang bukan Tuhan melainkan ijazah dan gelar akademik, itu sudah masuk kategori musyrik,” sahut Dullah berkomentar.
“Apa yang mereka ucapkan, terbukti tidak sama dengan apa yang mereka perbuat,” kata Sufi Kenthir menyela,”Itu tanda mereka itu orang munafik.”
“Gaya hidup mereka sudah sama dengan gaya hidup kaum musyrikin pemuja nafsu rendah duniawi, yaitu gaya hidup yang dikehendaki dan dirancang oleh kaki tangan Dajjal, di mana dengan gaya hidup seperti itu mereka menjadi sangat tergantung dengan aneka ragam komoditas yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan MNC dan TNC milik Dajjal,” sahut Sufi Sudrun.
“Itu sebabnya, mereka tidak lagi disebut sebagai qaum al-mu’minin, yaitu umat beriman yang dimuliakan, ditinggikan, dikuatkan, diteguhkan Allah; umat yang tidak tergantung kepada siapa pun kecuali Allah, umat yang mandiri, pemberani dan disegani. Bukan! Mereka bukan qaum al-mu’minin. Sebaliknya, mereka telah menjadi komunitas manusia berstatus konsumen hamba setia kapitalis, yang berjiwa konsumtif, egoistis, hedonis, narsis, materialis, lemah, tidak berdaya. Ya, mereka adalah kawanan manusia konsumtif yang kebingungan diterjang air bah benda-benda produksi yang menyeret mereka ke tengah lautan komoditas tak bertepi,” kata Sufi tua.
“Apa maksudnya konsumen hamba setia kapitalis pakde? Apa pula maksud terseret air bah benda-benda produksi dan lautan komoditas?” gumam Sukiran belum faham minta penjelasan.
“Umat Islam yang mengaku beriman tetapi hidupnya sudah sangat tergantung kepada aneka ragam komoditas produksi dari perusahaan-perusahaan MNC dan TNC kapitalis, itulah yang disebut konsumen hamba setia kapitalis,” kata Sufi tua.
“Maksudnya bagaimana, belum faham saya pakde,” kata Sukiran.
“Mereka itu adalah orang-orang beragama Islam tetapi sejak bangun tidur, beraktivitas sehari-hari hingga tidur lagi tidak bisa melepaskan diri dari aneka ragam komoditas yang diproduksi raksasa-raksasa kapitalis. Tegasnya, mereka itu orang beragama Islam yang berstatus konsumen setia pengguna produk perusahaan-perusahaan MNC dan TNC milik kapitalis Amerika, Perancis, Inggris,” kata Sufi tua.
“Contoh riilnya bagaimana pakde?” tanya Sukiran bersamaan dengan Dullah.
“Sejak bangun tidur turun dari ranjang, orang-orang Islam berstatus konsumen setia kapitalis itu sudah menginjak lantai kamar tidurnya yang berupa keramik American Tile. Sewaktu masuk kamar mandi mulai lantai, wastafel, bathtubs, closed, dan kran airnya, semua standard America. Pada waktu menyikat gigi mereka pakai pasta gigi merk Close Up, Pepsodent, Darkie. Saat keramas mereka pakai shampoo merk Clear. Dove, dengan conditioning merk TRESemme. Waktu mandi mereka memakai sabun merk Cussons, Dove, Dettol, Lifebuoy, Imperial Leather,.”
“Wah benar itu,”sahut Sukiran cengingisan,”Saya juga pakai merk-merk itu.”
“Habis mandi badan disemprot wewangian merk Lancome, rambut diminyaki merk Mandom, pakai celana dalam merk Tootal, singlet merk Balmora, kemeja merk Charles Jourdan, celana merk Charles Arden, Ralph Laurent, sabuk merk Crocodile, kaus kaki merk Timberland, sepatu merk Bally, Nike, Adidas. Setelah necis kemeja disemprot minyak wangi merk Calvin Klein, Polo, Giorgio Armani,” kata Sufi tua.
“Kalau itu sih, saya tidak mampu beli pakde.”
“Sarapan pagi dengan menu roti tawar dioles mentega merk Blue Band, minum susu produk Nestle, minum air mineral merk Aqua.”
“Kalau saya sih, cuma biasa sarapan pecel.”
“Sebelum berangkat ke kantor, pesan kepada pembantu untuk tidak lupa mencuci pakaian olahraganya dengan deterjen merk Rinso dengan pewangi merk Molto. Setelah itu memeriksa tas merk Louis Vuitton yang berisi pulpen merk Parker, Credit Card Citybank, fotokopi dokumen Xerox, note book merk Apple. Di saku terselip hand-phone Blackberry..”
“Itu orang kantoran pakde,” sahut Sukiran.
“Keluar bawa mobil Audy diisi Pertamax produk Exxon Mobile, Caltex, yang dijual di SPBU berlabel Pertamina. Lalu ganti oli dengan oli merk Top 1.”
“Tajir banget. Saya mau jadi sopirnya,” sahut Sukiran.
“Sampai di kantor, sudah tersedia semua peralatan mulai computer, mebeler, instalasi listruk, document keeper, alat-alat tulis, mesin pengisap debu, jaringan komunikasi, pesawat telepon, televisi, sampai pewangi ruangan, semua menggunakan produk standard Amerika..”
“Hanya keset, septictank, air ledeng yang asli lokal…”
“Untuk minum para pegawai, jongos kantor selalu menyediakan kopi merk Nescafe dengan krimer merk Coffee-mate, air mineral merk Aqua, teh merk Lipton, dengan biscuit Danone, biscuit Jacob, LU biscuit, coklat Starbuck.”
“Itu kelasnya orang kantoran, pakde.”
“Kamu itu kurang gaul, le,” sahut Sufi tua melanjutkan,”Sekarang ini gaya hidup konsumeris yang tergantung komoditas produksi Kapitalis bukan hanya dianut orang-orang kantoran, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat middle-class sampai grass-root. Lihat saja, bagaimana orang-orang masuk ke CafĂ© Starbuck menikmati segelas American Coffee, Cappuccinno, Moccaccinno, dengan sepotong Croissant hanya sekedar untuk terlihat seperti orang dari kalangan high-class. Begitu juga orang kampung beramai-ramai antri masuk ke Resto Wendys, KFC, McDonald, Dunkin’ Donut’s, Pizza Hut, Arbys, Texas Fried Chicken, Baskin Robbins untuk sekedar menaikkan gengsi,” kata Sufi tua.
“Aduh, aku kena sindir ini,” sahut Dullah garuk-garuk kepala.
“Bahkan sekarang ini bermunculan kelompok-kelompok masyarakat eksklusif yang menandai keberadaan diri mereka dengan membentuk jaringan Blackberry, di mana mereka itu merasa sudah jadi manusia super modern karena memiliki HP Blackberry. Orang-orang yang menggunakan HP Cina dianggap sebagai golongan grass-root. Pendek kata, di kalangan masyarakat consumer itu terbentuk pandangan stigmatic bahwa segala sesuatu yang memiliki icon Amerika adalah superior,” kata Sufi tua.
“Ya memangnya Amerika sudah menjadi “tuhan” di dunia,” sahut Sufi Kenthir,”Maka hampir tidak ada bangsa yang tidak tunduk dan patuh kepada Amerika, kecuali sekumpulan orang gak waras yang disebut kaum sufi yang hidup di pesantren kumuh macam ini.”
“Itu benar sekali,” sahut Sufi tua,”Jangankan masyarakat, Negara kita pun terkencing-kencing kalau Duli Paduka Yang Mulia Dajjal yang bertahta di Amerika sudah menggeram atau sekedar batu-batuk kecilk.”
“Ah, apa iya begitu pakde?” tukas Dullah penasaran,”Negara kita itu hebat pakde.”
“Ya lihat saja faktanya, waktu pemerintah akan beli pesawat Sukhoi SU-27 SKM dan SU-30 MK2 masing-masing 3 unit senilai 350 juta USD, tanpa terduga Amerika menghibahkan pesawat F-16 sebanyak 24 unit. Sewaktu hibah diterima, tiba-tiba Amerika minta Indonesia membiayai perbaikan pesawat-pesawat rombengan yang sudah tidak bisa terbang itu senilai 750 juta USD. Begitulah, tanpa sedikit pun bisa membantah pemerintah membeli pesawat rongsokan itu senilai 6 triliun lebih. Sekarang ini, dengan cara "hibah" pula Amerika memaksa pemerintah membeli 10 pesawat F-16 rongsokan ditambah helikopter-helikopter rombengan,” papar Sufi tua.
“Ya kalau pemerintah saja tidak berani berkata "tidak" kepada Amerika, apalagi masyarakat? Gumam Dullah.
“Itulah sebabnya, umat Islam, termasuk sebangsa kita, ditimpah murka Allah. Sebab mereka sudah menggantungkan seluruh hajat hidup mereka kepada Dajjal penyesat. Meski mulut mereka menyatakan beriman kepada Allah dan kadang-kadang berteriak anti Amerika, tapi dalam kenyataan mereka sangat tergantung pada komoditas yang diproduksi perusahaan-perusahaan Amerika.”
“Kenyataannya memang seperti itu, kang,” sahut Sufi Kenthir.
“Tapi mereka tidak bisa disalahkan,” sahut Sufi tua.
“Kenapa begitu pakde?” sergah Sukiran.
“Karena Rasulullah Saw sudah meramalkan, bahwa sebagian di antara umat beliau akan menjadi pengikut Dajjal,” jawab Sufi tua.
"NAUDZUBILLAH TSUMMA NAUDZUBILLAH!"
You have read this article with the title Umat Beragama Konsumtif Yang Dimurkai Allah. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/umat-beragama-konsumtif-yang-dimurkai.html. Thanks!
No comment for "Umat Beragama Konsumtif Yang Dimurkai Allah"
Post a Comment