Kenapa Korban Bencana Selalu Orang Miskin?

Amukan angin yang menumbangkan pohon-pohon, merobohkan rumah-rumah, merusak kandang, menewaskan dan melukai orang-orang yang ditayangkan di berbagai stasiun TV menjadi perbincangan serius para aktivis. Dengan tanda tanya memenuhi kepala, mereka datang ke Pesantren Sufi untuk menyoal berbagai hal yang menurut mereka tidak adil. Usai shalat Asyar, dengan dipimpin Farel Almirez, mereka menghadap Guru Sufi yang sedang berbincang-bincang dengan Sufi Kenthir dan Sufi Sudrun serta Sufi tua.                 Tanpa basa-basi Farel Almirez menanyakan tentang semua bencana yang menimpa penduduk itu apakah memang sudah dikehendaki Tuhan Yang Mahakuasa. Jika memang semua berasal dari Tuhan, kenapa yang menjadi korban hanya orang-orang miskin yang hidupnya sengsara. “Kami punya catatan, Mbah Kyai, bahwa dalam setiap bencana yang menjadi korban rata-rata orang susah ekonominya. Mulai Flu Burung, Flu Babi, ISPA, DBD, Malaria, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, tabrakan kereta api, kapal tenggelam, kecelakaan massal, sampai anak-anak dan orang-orang di halte bus ditabrak Afriyani dan korban pohon-pohon tumbang dan angin ribut adalah orang-orang susah ekonominya. Apakah itu bisa disebut adil, Mbah Kyai?”                  Sufi tua yang mendengar pertanyaan Farel Almirez menyela dengan suara ditekan,”Jika kita orang beriman, maka kita harus yakin bahwa semua yang baik dan semua yang buruk itu berasal dari Tuhan,” Sufi tua menyanyikan si’iran yang biasa dibaca di mushola,”Amantu billahi wa al-malaikatihi wa kutubihi wa rusulihi wa al-yaumil akhiri wa bil qodry khoirihi wa syarihi min Allahi ta’ala…”               “Rukun iman itu kami yakini, pakde,” sahut Farel Almirez,”Yang kami tidak habis pikir, kenapa takdir buruk hampir selalu ditimpahkan kepada orang-orang yang susah ekonominya? Kenapa para koruptor yang berlimpah kekayaan itu selalu baik-baik dan ketawa-ketiwi di tengah bencana?”         “Wah kalau sudah soal itu, aku tidak tahu jawabannya. Soalnya, aku yakin bahwa semua itu berasal dari Dia tanpa perlu menanyakan alasannya. Aku juga tidak berani memprotes Dia, kenapa yang menjadi korban musibah selalu orang-orang yang susah ekonominya. Aku kira semua orang di pesantren ini tidak ada yang mau menyoal masalah-masalah seperti itu, karena semua sudah Lillah Billah. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya,” kata Sufi tua.         “Wah kalau seperti itu susah ya,” gumam Farel disambut gumam teman-temannya.          “Asal kalian tahu saja,” tiba-tiba Sufi Sudrun menyela,”Wali Songo jaman dulu mengajarkan kepada penduduk muslim Jawa agar meyakini bahwa kunci sukses dalam hidup di dunia ini hendaknya digantungkan pada prinsip Innalillahi wa innailaihi roji’un. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Itu sebabnya, kosa kata untuk istilah musibah dipilih kata “BILAHI” yaitu dipungut dari kata Billahi. Sehingga kalimat “Sukirin nemu bilahi” memiliki makna “Sukirin mendapat musibah (dari Allah)” sehingga harus sabar sesuai sabda-Nya dalam Surah Al-Baqarah 155-156 agar mereka itu menjadi golongan orang yang beroleh ampunan dan rahmat serta mendapat petunjuk (Q.S.Al-Baqarah 157).”          “Jadi bagaimana dengan orang-orang kaya?” kata Marvel Carey, teman Farel,”Kenapa mereka tidak diuji seperti orang-orang susah ekonomi?”           “Justru kelimpahan harta, kemewahan, kesenangan, sanjungan, pujian, kemudahan, dan pengumbaran nafsu yang dinikmati orang-orang kaya harta adalah musibah yang jauh lebih berat daripada musibah yang diperuntukkan bagi orang-orang susah ekonomi,” sahut Sufi Sudrun.             “Wah kami bingung pakde,” sahut Marvel Carey garuk-garuk kepala,”Bagaimana logikanya, para koruptor yang berlimpah duit, yang hidup bermewah-mewah dalam sukacita, terhindar dari musibah, berpesta pora narkoba, bisa dianggap menerima musibah yang lebih berat? Ini membingungkan pakde.”             “Logika tasawuf memang beda dengan logika sekolah,” kata Sufi Sudrun datar.            Guru Sufi yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyahut,”Jika logika kalian menggugat keadilan Tuhan karena yang tertimpah bencana adalah orang-orang yang susah ekonominya, sedang orang-orang yang berlimpah kekayaan selalu selamat dari bencana, maka jawabannya ada pada Kisah Sufi Kelana.”               “Kisah Sufi Kelana yang bagaimana ceritanya, Mbah Kyai?” tanya Farel menukas.                Dengan suara rendah Guru Sufi bercerita,“Satu saat, Sufi Kelana dikisahkan terdampar di sebuah negeri yang hamper seluruh penduduknya kaya raya. Saking meratanya jumlah penduduk kaya raya, sampai orang-orang berzakat, infak, shodaqoh kesulitan membaginya karena sulit dicari orang miskin. Nah satu ketika terjadi gempa bumi yang membuat bangunan-bangunan runtuh dan menimpah penduduk. Sufi Kelana menyaksikan pemandangan menyedihkan tentang penduduk yang menjadi korban dari gempa tersebut. Sufi Kelana terharu dan bersyukur ketika menyaksikan orang-orang miskin justru selamat dari musibah itu. Nah, menurut kalian, kenapa orang-orang miskin di negeri itu bisa selamat dari bencana sedang orang-orang kaya raya justru menjadi korban utama?”                 “Eee karena jumlah orang miskin di negeri itu minoritas, Mbah Kyai,” sahut Farel mulai menangkap arah cerita Guru Sufi,”Itu sesuai teori probabilitas, Mbah Kyai.”                 “Sufi Kelana pergi lagi berkelana. Kali ini, dia terdampar di sebuah negeri yang hampir seluruh penduduknya miskin. Penduduk kaya apalagi yang kaya raya, hanya bisa dihitung dengan jari. Dan sewaktu negeri itu dilanda bencana Tusnami dan tanah longsor, beratus ribu penduduk tewas. Kira-kira yang paling banyak tewas dari penduduk itu yang dari golongan mana?” tanya Guru Sufi.              “Eee sesuai teori probabilitas, pasti penduduk miskin yang banyak tewas, Mbah Kyai.”              Hhmmm. Guru Sufi tersenyum melihat para aktivis manggut-manggut.              “Tapi Mbah Kyai,” sahut Marvel kurang puas,”Untuk kasus di negeri kita ini, kan tidak seperti yang digambarkan Sufi Kelana. Angka kemiskinan sudah turun. Angka pertumbuhan ekonomi sudah naik 6,5%. Itu artinya, orang miskin di negeri kita sudah menurun.”               “Ha ha ha, kemiskinan memang sudah menurun,” sahut Sufi Sudrun,”Tapi menurun ke anak cucu.”               “Memangnya fakta tentang kemiskinan bisa dijawab dengan angka-angka statistic?” kata Sufi tua.                “Menurut teori probabilitas,…kemungkinan penduduk sebuah negeri  yang sangat mungkin terkena bencana adalah penduduk yang paling banyak jumlahnya. Jadi bencana yang selalu dialami orang-orang susah ekonominya itu berhubungan dengan jumlah kuantitas mereka…” gumam Farel garuk-garuk kepala.
You have read this article with the title Kenapa Korban Bencana Selalu Orang Miskin?. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/kenapa-korban-bencana-selalu-orang.html. Thanks!

No comment for "Kenapa Korban Bencana Selalu Orang Miskin?"

Post a Comment