Sore usai shalat Asyar, Pesantren Sufi penuh sesak dijejali warga kampung yg berdesak-desak membaca berita di Mading yang diunduh dari DetikNews.Com. Meski sudah melihat tayangan berita di TV, warga ingin membaca berita terbaru sekaligus ingin mengetahui bagaimana pandangan para sufi tentang itu. Sebab dalam kasak-kusuk, mereka membincang tentang kemungkinan akan mengalami nasib sama dengan warga Mesuji Lampung yang bernasib malang dibantai centeng-centeng pengusaha kaya. Berita di mading yang mereka baca, isinya sebagai berikut:
Warga Lampung Mengadu ke Komisi III Soal Pembantaian 30 Orang
Sejumlah warga mengadu ke Komisi III DPR mengenai upaya penggusuran terkait perluasan kebun sawit di Mesuji, Lampung. Upaya penggusuran tersebut menggunakan cara kekerasan yang menimbulkan korban jiwa.
"Bangunan ibadat dihancurkan, hasil panen singkong juga dirampas. Aparat kepolisian yaitu korps brimob melakukan juga pemerkosaan terhadap janda, pada saat penggusuran," kata pengacara warga Bob Hasan di Gedung DPR, Rabu (14/12/2011).
Sementara itu mantan anggota DPR Mayjen (Purn) Saurip Kadi, yang ikut mendamping warga mengatakan perusahaan perkebunan sawit tersebut mengusir penduduk dengan cara membentuk Pamswakarsa. Hal itu menurutnya untuk membenturkan rakyat dengan rakyat.
"Ketika warga mengadu ke polisi tidak dilayani. Intimidasi dari oknum Kepolisian dan pihak perusahaan sangat masif di sana," kata dia.
Dalam pertemuan tersebut sempat diputar video kekerasan yang dilakukan oleh para Pamswakarsa tersebut. Dalam video itu diperlihatkan adanya pembantaian yang dilakukan dengan keji. Ada dua video yang merekam proses pemenggalan dua kepala pria. Sementara tampak satu pria bersenjata api laras panjang dengan penutup kepala memegang kepala yang telah terpenggal.
Selain merekam pembunuhan keji lainnya, video lain memperlihatkan kerusakan rumah penduduk.
Peristiwa ini berawal dari perluasan lahan oleh perusahaan sawit asal Malaysia sejak tahun 2003. Perusahaan yang berdiri tahun 1997 itu, terus menyerobot lahan warga untuk ditanami kelapa sawit dan karet. Atas kekejian ini, sekitar 30 warga lLmpung tewas.
Ketika Guru Sufi keluar bersama Sufi Jadzab, Sufi Sudrun, Sufi tua, Sufi Kenthir, dan Dullah, warga kampung buru-buru mengerumuni. Duduk melingkar, ingin mendengar fatwa apa yang akan disampaikan para sufi tersebut.
Sewaktu Guru Sufi dan Sufi yang lain duduk bersila, Sufi Jadzab sudah berteriak keras,”Film dokumenter sejarah VOC diputar lagi dengan penyesuaian setting baru.”
“Apa maksudnya film VOC diputar ulang, mbah,” teriak Bambang penasaran.
Sufi Jadzab tidak menjawab. Ia hanya ketawa ha ha hi hi. Sufi Sudrun yang duduk di sampingnya, buka suara,”Maksud beliau, keadaan sekarang ini sama persis dengan keadaan jaman VOC. Maksudnya, di Nusantara ada pusat-pusat kekuasaan (centre powers) yang menyebar selain kekuasaan negara. Lebih tegasnya, zaman dulu selain ada kerajaan bangsa sendiri seperti Banten, Cirebon, Mataram, Gowa, ada juga perusahaan dagang (compagnie) yang disebut VOC yang tidak saja punya modal besar tetapi juga punya tentara dan centeng-centeng pribumi.”
“Tapi kang,” sahut Bambang makin penasaran,”Apa tentara-tentara milik kerajaan bangsa sendiri ada yang menjual diri menjadi centeng VOC?”
“Itu yang beda,” sahut Sufi Sudrun,”Prajurit-prajurit kerajaan bangsa sendiri dewasa itu punya harga diri, kehormatan, faham halal-haram, dan punya integritas kepribumian yang kuat serta setia kepada kerajaan. Jadi tidak ada prajurit kerajaan yang melacur jadi centengnya VOC.”
“Tapi kang, bagaimana mungkin di negara kesatuan seperti Indonesia bisa ada center powers di luar negara?” kata Bambang dengan nada tanya.
“Idealnya memang tidak boleh ada. Tapi dalam fakta, itu ada dan riil,” sahut Sufi Sudrun.
“O iya ya kang, aku jadi ingat kasus Alas Tlogo di Pasuruan. Penduduk ditembaki tentara yang membela kepentingan pengusaha. Ingat juga kasus Freeport yang mengambil korban jiwa. Bagaimana ini bisa terjadi, aparat membunuh rakyat untuk kepentingan pengusaha?”
“Ya karena kebijakan Neo-liberal yang mengikuti skenario bikinan George Soros tentang a global open society, masyarakat global yang terbuka di mana masyarakat harus bersaing secara bebas tanpa dibatasi sekat-sekat etnisitas, bahasa, budaya, agama, bahkan teritorial negara. Inilah era global. Yang menang menjadi kelompok determinan yang disebut Kapitalis. Yang kalah menjadi kelompok tersubordinasi yang disebut disposable people,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Ya ya, aku pernah baca tentang teori Masyarakat Terbuka-nya Soros itu,” kata Bambang manggut-manggut,”Tapi aku tidak sampai mikir kejadiannya akan bisa seperti ini. Aku hanya mikir, negara yang menerapkan konsep Soros itu akan menjadi pasar bebas dan bukan lagi negara.”
“Justru setelah jadi negara, segala sesuatu mengikuti hukum pasar,” kata Sufi Sudrun,”Segala sesuatu yang ada mempunyai harga sendiri-sendiri. Maksudnya, siapa yang hidup di pasar wajib punya uang untuk membeli segala sesuatu. Tidak ada yang gratis. Mau pinter bersekolah harus punya duit. Mau jadi kades harus punya duit untuk beli suara. Mau jadi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur, bahkan PNS harus punya duit. Orang sakit dan bahkan mati pun harus punya duit. Tidak ada kuburan gratis. Semua harus bayar. Nah para kapitalis pemilik duit, dialah raja diraja yang bisa membeli apa saja dan siapa saja.”
“Jadi kasus pembantaian Lampung itu akhirnya bagaimana?” tanya Bambang.
“Ya selesai begitu saja, karena pengusaha punya duit yang bisa membeli apa saja. Kalau pun dicari kambing hitam, ya aparat rendahan yang disalahkan dan dimasukkan bui.”
“Mbah Kyai,” kata Bambang meminta fatwa kepada Guru Sufi,”Bagaimana dengan warga yang tewas disembelih binatang-binatang biadab itu?”
Belum lagi Guru Sufi menjawab, Sufi Jadzab sudah menukas,”Warga yang tewas dijagal mati syahid karena mereka mati membela hak mereka yang dirampas. Mereka syahid karena diusir semena-mena dari tanah kelahirannya.”
“Bagaimana dengan centeng-centeng yang menjagal warga?”
“Mereka itu babi-babi yang sudah kehilangan iman karena pekerjaan mereka adalah membunuh untuk memperoleh upah. Darah mereka halal untuk ditumpahkan dengan alasan qishash,” sahut Sufi Jadzab dengan suara tinggi. Lalu dengan isyarat tangan ke atas Sufi Jadzab berdoa dengan suara lantang,”Ya Allah, timpahkanlah adzab pedih kepada makhluk-Mu yang mencari nafkah dengan membunuh manusia. Tumpaslah dengan macam-macam balak mereka yang dihidupi dengan nafkah membunuh itu. Berikan umur panjang kepada para pembunuh itu dengan beban penderitaan yang terpedih menurut-Mu.”
“Amiin...” seru warga serentak sambung-menyambung,”Ya Robbal 'alamiin.”
Warga Lampung Mengadu ke Komisi III Soal Pembantaian 30 Orang
Sejumlah warga mengadu ke Komisi III DPR mengenai upaya penggusuran terkait perluasan kebun sawit di Mesuji, Lampung. Upaya penggusuran tersebut menggunakan cara kekerasan yang menimbulkan korban jiwa.
"Bangunan ibadat dihancurkan, hasil panen singkong juga dirampas. Aparat kepolisian yaitu korps brimob melakukan juga pemerkosaan terhadap janda, pada saat penggusuran," kata pengacara warga Bob Hasan di Gedung DPR, Rabu (14/12/2011).
Sementara itu mantan anggota DPR Mayjen (Purn) Saurip Kadi, yang ikut mendamping warga mengatakan perusahaan perkebunan sawit tersebut mengusir penduduk dengan cara membentuk Pamswakarsa. Hal itu menurutnya untuk membenturkan rakyat dengan rakyat.
"Ketika warga mengadu ke polisi tidak dilayani. Intimidasi dari oknum Kepolisian dan pihak perusahaan sangat masif di sana," kata dia.
Dalam pertemuan tersebut sempat diputar video kekerasan yang dilakukan oleh para Pamswakarsa tersebut. Dalam video itu diperlihatkan adanya pembantaian yang dilakukan dengan keji. Ada dua video yang merekam proses pemenggalan dua kepala pria. Sementara tampak satu pria bersenjata api laras panjang dengan penutup kepala memegang kepala yang telah terpenggal.
Selain merekam pembunuhan keji lainnya, video lain memperlihatkan kerusakan rumah penduduk.
Peristiwa ini berawal dari perluasan lahan oleh perusahaan sawit asal Malaysia sejak tahun 2003. Perusahaan yang berdiri tahun 1997 itu, terus menyerobot lahan warga untuk ditanami kelapa sawit dan karet. Atas kekejian ini, sekitar 30 warga lLmpung tewas.
Ketika Guru Sufi keluar bersama Sufi Jadzab, Sufi Sudrun, Sufi tua, Sufi Kenthir, dan Dullah, warga kampung buru-buru mengerumuni. Duduk melingkar, ingin mendengar fatwa apa yang akan disampaikan para sufi tersebut.
Sewaktu Guru Sufi dan Sufi yang lain duduk bersila, Sufi Jadzab sudah berteriak keras,”Film dokumenter sejarah VOC diputar lagi dengan penyesuaian setting baru.”
“Apa maksudnya film VOC diputar ulang, mbah,” teriak Bambang penasaran.
Sufi Jadzab tidak menjawab. Ia hanya ketawa ha ha hi hi. Sufi Sudrun yang duduk di sampingnya, buka suara,”Maksud beliau, keadaan sekarang ini sama persis dengan keadaan jaman VOC. Maksudnya, di Nusantara ada pusat-pusat kekuasaan (centre powers) yang menyebar selain kekuasaan negara. Lebih tegasnya, zaman dulu selain ada kerajaan bangsa sendiri seperti Banten, Cirebon, Mataram, Gowa, ada juga perusahaan dagang (compagnie) yang disebut VOC yang tidak saja punya modal besar tetapi juga punya tentara dan centeng-centeng pribumi.”
“Tapi kang,” sahut Bambang makin penasaran,”Apa tentara-tentara milik kerajaan bangsa sendiri ada yang menjual diri menjadi centeng VOC?”
“Itu yang beda,” sahut Sufi Sudrun,”Prajurit-prajurit kerajaan bangsa sendiri dewasa itu punya harga diri, kehormatan, faham halal-haram, dan punya integritas kepribumian yang kuat serta setia kepada kerajaan. Jadi tidak ada prajurit kerajaan yang melacur jadi centengnya VOC.”
“Tapi kang, bagaimana mungkin di negara kesatuan seperti Indonesia bisa ada center powers di luar negara?” kata Bambang dengan nada tanya.
“Idealnya memang tidak boleh ada. Tapi dalam fakta, itu ada dan riil,” sahut Sufi Sudrun.
“O iya ya kang, aku jadi ingat kasus Alas Tlogo di Pasuruan. Penduduk ditembaki tentara yang membela kepentingan pengusaha. Ingat juga kasus Freeport yang mengambil korban jiwa. Bagaimana ini bisa terjadi, aparat membunuh rakyat untuk kepentingan pengusaha?”
“Ya karena kebijakan Neo-liberal yang mengikuti skenario bikinan George Soros tentang a global open society, masyarakat global yang terbuka di mana masyarakat harus bersaing secara bebas tanpa dibatasi sekat-sekat etnisitas, bahasa, budaya, agama, bahkan teritorial negara. Inilah era global. Yang menang menjadi kelompok determinan yang disebut Kapitalis. Yang kalah menjadi kelompok tersubordinasi yang disebut disposable people,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Ya ya, aku pernah baca tentang teori Masyarakat Terbuka-nya Soros itu,” kata Bambang manggut-manggut,”Tapi aku tidak sampai mikir kejadiannya akan bisa seperti ini. Aku hanya mikir, negara yang menerapkan konsep Soros itu akan menjadi pasar bebas dan bukan lagi negara.”
“Justru setelah jadi negara, segala sesuatu mengikuti hukum pasar,” kata Sufi Sudrun,”Segala sesuatu yang ada mempunyai harga sendiri-sendiri. Maksudnya, siapa yang hidup di pasar wajib punya uang untuk membeli segala sesuatu. Tidak ada yang gratis. Mau pinter bersekolah harus punya duit. Mau jadi kades harus punya duit untuk beli suara. Mau jadi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur, bahkan PNS harus punya duit. Orang sakit dan bahkan mati pun harus punya duit. Tidak ada kuburan gratis. Semua harus bayar. Nah para kapitalis pemilik duit, dialah raja diraja yang bisa membeli apa saja dan siapa saja.”
“Jadi kasus pembantaian Lampung itu akhirnya bagaimana?” tanya Bambang.
“Ya selesai begitu saja, karena pengusaha punya duit yang bisa membeli apa saja. Kalau pun dicari kambing hitam, ya aparat rendahan yang disalahkan dan dimasukkan bui.”
“Mbah Kyai,” kata Bambang meminta fatwa kepada Guru Sufi,”Bagaimana dengan warga yang tewas disembelih binatang-binatang biadab itu?”
Belum lagi Guru Sufi menjawab, Sufi Jadzab sudah menukas,”Warga yang tewas dijagal mati syahid karena mereka mati membela hak mereka yang dirampas. Mereka syahid karena diusir semena-mena dari tanah kelahirannya.”
“Bagaimana dengan centeng-centeng yang menjagal warga?”
“Mereka itu babi-babi yang sudah kehilangan iman karena pekerjaan mereka adalah membunuh untuk memperoleh upah. Darah mereka halal untuk ditumpahkan dengan alasan qishash,” sahut Sufi Jadzab dengan suara tinggi. Lalu dengan isyarat tangan ke atas Sufi Jadzab berdoa dengan suara lantang,”Ya Allah, timpahkanlah adzab pedih kepada makhluk-Mu yang mencari nafkah dengan membunuh manusia. Tumpaslah dengan macam-macam balak mereka yang dihidupi dengan nafkah membunuh itu. Berikan umur panjang kepada para pembunuh itu dengan beban penderitaan yang terpedih menurut-Mu.”
“Amiin...” seru warga serentak sambung-menyambung,”Ya Robbal 'alamiin.”
You have read this article with the title Doa Untuk Centeng Penjagal Warga Lampung. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/doa-untuk-centeng-penjagal-warga-lampung.html. Thanks!
No comment for "Doa Untuk Centeng Penjagal Warga Lampung"
Post a Comment