Ahad pagi usai pengajian Subuh, pesantren sufi didatangi puluhan aktivis mahasiswa yang baru kembali dari ibukota. Meski warga kampung dan santri tidak ada yang mengenal mereka, namun semua mengucapkan selamat dan mengelu-elukan aktivis mahasiswa itu seperti pahlawan.
Ning Ponirah yang buruh mencuci dan setrika di perumahan menyalami para mahasiswa dengan air mata bercucuran sambil berkata sesenggukan,"Alhamdulillah, BBM tidak naik. Sampeyan semua sudah membuat senang hati orang-orang miskin yang sengsara seperti saya. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan jika hari ini BBM jadi naik. Pastinya, anak-anak saya hanya bisa makan nasi dengan garam. Terima kasih mas! Terima kasih! Terima kasih!"
Dullah yang melihat kegembiraan warga begitu berlebihan buru-buru menyelas,"Jangan keburu gembira ria. Soalnya, hasil keputusan DPR memberi kebebasan kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu menaikkan harga BBM subsidi."
"DPR apa kang Dullah?" sahut Ning Ponirah ketus,"Memang DPR itu wakil kita? Saya sama sekali tidak merasa punya wakil. Soalnya, saya tidak pernah ikut Pemilu. Ora percaya!"
"Bener kang," sergah Yu Paitri garang,"Aku sudah kecewa dulu ikut Pemilu, ternyata wakilnya mengkhianati rakyat. Aku tarik dukunganku. Mereka bukan lagi wakilku."
"Betul! Betul! Betul!" sahut Sukiran,"Sekarang aku lebih percaya kepada mahasiswa."
"Tapi itu Parlemen Jalanan namanya," sahut Dullah menggoda.
"Memangnya di sini ada parlemen?" sahut Sukiran tinggi,"Yang ada kumpulan blantik dagang sapi, yang ramai-ramai memperkaya diri dengan mengatas-namakan rakyat. Memang siapa mereka? Pengangguran gak punya pekerjaan. Sepanjang zaman hanya bermodal janji dan omong kosong untuk jadi wakil rakyat. Kalau tidak jadi wakil rakyat, pasti jadi pengangguran lagi."
"Sudah..sudah!" sahut Sufi tua menengahi,"Yang pasti, siapa pun yang memerintah negara ini tidak akan bisa menahan laju kenaikan BBM yang tergantung harga pasar dunia. Jadi cepat atau lambat pasti akan naik."
"Kenapa bisa seperti itu, pakde?" tanya Ning Ponirah ingin tahu.
"Soalnya, Indonesia dulu anggota OPEC yaitu negara pengekspor minyak sedang sekarang ini menjadi negara OPIC yaitu negara importir minyak. Yang lebih menyakitkan, Indonesia sekarang ini harus impor dari dalam negeri sendiri."
"Impor dari dalam negeri sendiri?' sahut Sukiran minta penjelasan,"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?"
"Karena kilang-kilang minyak sudah bukan milik negara kita lagi."
"Sekarang milik siapa, pakde?"
"Milik korporasi-2 asing."
"Lho sejak kapan itu pakde?" tanya Sukiran penasaran.
"Sejak Soeharto tanda tangan Letter of Intens bersama Michael Camdessus dari IMF yang jadi dasar pembentukan BPPN yang diawasi Citibank dan Standard Chartered Bank. Lewat BPPN itulah kilang-2 minyak milik pemerintah dijual dengan istilah PRIVATISASI. Lalu kader-2 didikan Amerika yang berkuasa di MPR/DPR RI mengamandemen UUD 45 untuk melegalisasi kepemilikan aset-aset negara itu oleh korporasi-2 asing. Jadi, sekarang ini jadilah Indonesia negara pengimpor minyak dari dalam negeri, karena kilang-2 minyaknya sudah dikuasai asing," kata Sufi tua.
"Jadi selama ini kita dibohongi, dikhianati, dikibuli, dikentuti sama penipu-penipu yang mengatasnamakan abdi negara, aparatur negara, pejabat negara....?"
Sufi tua diam. Warga diam. Mahasiswa diam. Santri diam. Semua diam. Bumi diam. Tetapi diam mereka seperti diamnya bumi yang mengandung magma panas membakar yang sewaktu-waktu bisa muntah ke permukaan dan merusak segalanya...
Ning Ponirah yang buruh mencuci dan setrika di perumahan menyalami para mahasiswa dengan air mata bercucuran sambil berkata sesenggukan,"Alhamdulillah, BBM tidak naik. Sampeyan semua sudah membuat senang hati orang-orang miskin yang sengsara seperti saya. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan jika hari ini BBM jadi naik. Pastinya, anak-anak saya hanya bisa makan nasi dengan garam. Terima kasih mas! Terima kasih! Terima kasih!"
Dullah yang melihat kegembiraan warga begitu berlebihan buru-buru menyelas,"Jangan keburu gembira ria. Soalnya, hasil keputusan DPR memberi kebebasan kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu menaikkan harga BBM subsidi."
"DPR apa kang Dullah?" sahut Ning Ponirah ketus,"Memang DPR itu wakil kita? Saya sama sekali tidak merasa punya wakil. Soalnya, saya tidak pernah ikut Pemilu. Ora percaya!"
"Bener kang," sergah Yu Paitri garang,"Aku sudah kecewa dulu ikut Pemilu, ternyata wakilnya mengkhianati rakyat. Aku tarik dukunganku. Mereka bukan lagi wakilku."
"Betul! Betul! Betul!" sahut Sukiran,"Sekarang aku lebih percaya kepada mahasiswa."
"Tapi itu Parlemen Jalanan namanya," sahut Dullah menggoda.
"Memangnya di sini ada parlemen?" sahut Sukiran tinggi,"Yang ada kumpulan blantik dagang sapi, yang ramai-ramai memperkaya diri dengan mengatas-namakan rakyat. Memang siapa mereka? Pengangguran gak punya pekerjaan. Sepanjang zaman hanya bermodal janji dan omong kosong untuk jadi wakil rakyat. Kalau tidak jadi wakil rakyat, pasti jadi pengangguran lagi."
"Sudah..sudah!" sahut Sufi tua menengahi,"Yang pasti, siapa pun yang memerintah negara ini tidak akan bisa menahan laju kenaikan BBM yang tergantung harga pasar dunia. Jadi cepat atau lambat pasti akan naik."
"Kenapa bisa seperti itu, pakde?" tanya Ning Ponirah ingin tahu.
"Soalnya, Indonesia dulu anggota OPEC yaitu negara pengekspor minyak sedang sekarang ini menjadi negara OPIC yaitu negara importir minyak. Yang lebih menyakitkan, Indonesia sekarang ini harus impor dari dalam negeri sendiri."
"Impor dari dalam negeri sendiri?' sahut Sukiran minta penjelasan,"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?"
"Karena kilang-kilang minyak sudah bukan milik negara kita lagi."
"Sekarang milik siapa, pakde?"
"Milik korporasi-2 asing."
"Lho sejak kapan itu pakde?" tanya Sukiran penasaran.
"Sejak Soeharto tanda tangan Letter of Intens bersama Michael Camdessus dari IMF yang jadi dasar pembentukan BPPN yang diawasi Citibank dan Standard Chartered Bank. Lewat BPPN itulah kilang-2 minyak milik pemerintah dijual dengan istilah PRIVATISASI. Lalu kader-2 didikan Amerika yang berkuasa di MPR/DPR RI mengamandemen UUD 45 untuk melegalisasi kepemilikan aset-aset negara itu oleh korporasi-2 asing. Jadi, sekarang ini jadilah Indonesia negara pengimpor minyak dari dalam negeri, karena kilang-2 minyaknya sudah dikuasai asing," kata Sufi tua.
"Jadi selama ini kita dibohongi, dikhianati, dikibuli, dikentuti sama penipu-penipu yang mengatasnamakan abdi negara, aparatur negara, pejabat negara....?"
Sufi tua diam. Warga diam. Mahasiswa diam. Santri diam. Semua diam. Bumi diam. Tetapi diam mereka seperti diamnya bumi yang mengandung magma panas membakar yang sewaktu-waktu bisa muntah ke permukaan dan merusak segalanya...
You have read this article with the title Dari Negara OPEC ke OPIC, BBM pun naik. You can bookmark this page URL http://khagussunyoto.blogspot.com/2012/10/dari-negara-opec-ke-opic-bbm-pun-naik_18.html. Thanks!
No comment for "Dari Negara OPEC ke OPIC, BBM pun naik"
Post a Comment